0

[EXO-FANFICTION] Kabut Mimpi

Judul: Kabut Mimpi

Author: Allotropy Equilibria

Genre: angst, tragedy

Rating: PG-17 (violence, murder, blood)

Cast: OC, Kris, Tao, Chanyeol

Desclaimer: member EXO milik Tuhan, dan diri mereka sendiri. Saya hanya memiliki Kriyume dan alur cerita yang murni keluar dari sel-sel kelabu dalam otak saya

.

.

.

Image

 

>KiriYume<

Sakit…

Perih….

Ngilu…

Kuseret tubuhku di atas aspal. Tak kupedulikan cairan kental yang terus mengalir tanpa henti. Beberapa kali napasku tertahan. Tak jarang pula tubuhku tak mau mengikuti perintah otak.

Terdiam.

Kaku.

Tak mau bergerak….

Tidak. Belum. Aku belum boleh berhenti di sini. Aku harus menemuimu… Aku harus memperingatkanmu….

Aku harus…. memberitahukan sesuatu padamu….

.

>KiriYume<

.

Jeritan-jeritan penuh semangat terdengar semakin jelas dari arah lorong. Aku mendongakkan kepala dan mendapati sosok tinggimu melewati ambang pintu. Paras tampanmu mengukir senyum lebar yang begitu menyilaukan. Seketika aku menundukkan kembali pandanganku dan berusaha bersembunyi di balik buku yang kupegang.

“Pagi!” sapamu dengan suara beratmu yang indah.

“Pagi, Pangeran!!” Para siswi di kelas langsung menjerit  dan mendesah tertahan karena terpesona olehmu. Lewat ekor mataku, kulihat kau hanya menampilkan barisan gigi putihmu pada mereka.

Ya, mereka menyebutmu pangeran. Jika bukan kau yang mereka beri gelar itu, maka aku akan menganggap sebutan itu berlebihan dan norak. Akan tetapi, gelar itu memang cocok untukmu. Kau tampan, tinggi bak model, pintar bergaul, cemerlang dalam pelajaran, jago olahraga, dan tentu dari keluarga elit yang membuatmu benar-benar cocok mendapat nama ‘Pangeran’. Kau begitu sempurna….

Tanpa sadar aku melirik sosokmu yang tengah mengobrol dengan teman-temanmu. Irisku terpaku pada tawamu. Sebelumnya aku tak pernah tahu bahwa sebuah tawa bisa begitu indah. Bahwa sebuah tawa bisa menyihirku….

Kristal coklatmu bersirobok dengan manik kelamku. Seketika aku merasa jantungku berhenti berdetak dan secepat kilat kupalingkan wajahku untuk membuat organku itu kembali berfungsi. Meski begitu, sekilas kutangkap kau menyunggingkan senyum manismu padaku.

 

Kau tersenyum padaku….

 

Apakah orang sepertiku…. boleh… menyukaimu?

.

>KiriYume<

.

 

Kau pasti tak pernah menyadari keberadaanku yang selalu memperhatikanmu.

Tahukah kau di mana aku selalu memperhatikanmu setiap malam? Kau pasti tak akan percaya jika kuberitahu. Setiap kali selesai menjalankan tugas, aku akan berdiam di atap rumah di samping istanamu. Memperhatikanmu dari balik jendela. Jika kau sudah tidur, aku akan nekat memanjat atap rumahmu dan melihatmu dari sana. Memandangimu hingga aku mengantuk. Tapi, hanya sebatas itu yang berani kulakukan.

Terkadang aku mengikutimu ke tempat kau biasa tampil bersama teman satu band-mu. Aku akan menonton penampilanmu dari sela-sela kayu yang melintang. Aku akan berdiam di sana hingga kau selesai dan mengikutimu pulang. Memastikan kau tiba kembali di istanamu dengan selamat.

Tahukah kau betapa sering aku terpikir untuk mengetuk jendelamu? Sering aku ingin membuatmu menyadari keberadaanku. Terkadang aku berkhayal kau akan tersenyum lebar padaku… mengobrol denganku… menerimaku. Namun, tentu saja itu tak terjadi. Kau akan ketakutan jika melihatku. Apalagi dengan bau darah yang mungkin melekat pada baju kelamku.

Kau pasti akan memandangku rendah jika tahu apa yang kulakukan setiap malam. Kau pasti tak akan sudi melihatku ada di sekitarmu. Kau pasti akan mengumpat dan mengataiku. Membenciku dan memperlakukanku bagaikan binatang. Tak apa, aku sudah terbiasa. Karena aku….

 

….aku pembunuh.

Ini bukan keinginanku, sungguh. Aku melakukan ini…demi uang. Demi tempat…. Demi kehidupan….

Seandainya memiliki pilihan lain, aku tak ingin berjalan di kegelapan ini. Seandainya boleh memilih, aku tak ingin terbiasa hidup dalam lorong gelap ini. Sayangnya, takdir tak membiarkanku memilih… Aku terlanjur terbiasa berada dalam kegelapan….

 

Karena aku lahir dan besar dalam kegelapan….

Kau tahu, aku bahkan tak tahu siapa orang tuaku. Aku tak memiliki ingatan akan masa kecilku. Hal yang kuingat hanyalah Lord Kris dan pelatihan keras yang ia berikan padaku. Percayakah kau jika kukatakan aku bahkan tak tahu siapa namaku? Mereka memanggilku “Kiriyume” karena keberadaan ukiran kanji itu di lengan kiriku. Bukan, bukan cat atau tinta yang dicap pada lengan kecilku. Melainkan ukiran pisau. Bekas luka yang membentuk kanji “kiri” (kabut) dan “yume” (mimpi).

.

>KiriYume<

 

.

 

“Guys, nanti malam jangan lupa datang ke rumahku ya!” serumu di depan kelas saat jam isitirahat. Menarik perhatian semua orang yang menanggapi dengan positif ajakan pestamu itu.

Aku hanya terdiam dengan buku tebal dalam tanganku. Apakah orang sepertiku pun boleh masuk ke istana indahmu?

“Kau juga datang, kan?”

Suara berat yang mendadak terdengar itu membuatku mendongak dengan terkejut. Lensaku memantulkan wajah tampanmu yang tersenyum hangat. Tak ada suara yang sanggup keluar dari kerongkonganku. Aku menahan napas dan hanya terpaku memandang lukisan Tuhan yang begitu mempesona di hadapanku ini.

“Kau harus datang, ya,” ucapmu sebelum terkekeh pelan dan kembali pada teman-temanmu.

 

Benarkah aku boleh datang…?

.

>KiriYume<

.

Tanganku gemetar dan tanpa sadar meremas lembar foto itu. Mataku melebar tak mau mempercayai bahwa paras indahmu lah yang terpantul di retinaku. Aku menatap Lord Kris yang tersenyum sinis.

“Bunuh orang tuanya dan akan kubiarkan pangeranmu selamat,” ujarnya dingin. Aku mengeratkan rahang dan mengepalkan tangan, menahan diri agar tak menarik katana (pedang samurai) dan menghunjamkan logam itu padanya.

 

Ia tahu…

“Aku menolak tugas ini,” ujarku dengan gigi bergemeletuk. Berusaha menekan gejolak emosi yang mendera. Memberanikan diri melawan perintah majikanku.

 

 

…meski aku sudah menduga apa jawaban yang akan diberikan Lord Kris…

“Kalau begitu Tao akan menggantikanmu,” ujarnya acuh sebelum seringai lebar ditampilkan paras dinginnya “Dan akan kusuruh dia untuk membunuh pangeranmu juga.”

Sebuah shuriken (senjata ninja, logam tajam berbentuk bintang) melintas tepat di samping pipi tirusnya dan menancap di kening kepala kijang awetan pada tembok di belakangnya. “Kepalamu akan menemani kijang itu saat aku pulang nanti,” desisku sebelum meninggalkan ruangan itu. Tanganku terkepal erat dan otakku berpikir cepat.

Akan kulakukan apapun untuk melindungimu….

.

>KiriYume<

.

Selama ini Lord Kris selalu menyuruhku melaksanakan tugas seorang diri. Memata-matai dan menghabisi lawan dapat kulakukan tanpa sebuah tim. Hal itu mempermudah rencana nekatku malam ini….

Iris kelamku menatap tajam dari sela dedaunan. Ruang pesta itu tampak ramai. Lampu menyala terang benderang menampilkan beragam makanan mewah di sekeliling orang-orang berpakaian mahal. Aku menemukan kedua orang tuamu di antara gerombolan yang sedang berbincang dengan gelas wine di tangan.

Lewat ekor mataku, kulihat ayahmu bergerak menuju toilet. Melepas earphone dan membuangnya ke tanah, kupastikan tak ada lagi yang bisa menghubungkanku dengan markas.  Memastikan tak ada seorangpun dari organisasi yang ada di sana selain diriku, aku memanjat gedung hotel itu dan menyelinap masuk ke lorong lewat jendela di lantai 3.

Saat ayahmu keluar dari toilet, kuarahkan sisi tajam kunai-ku (senjata ninja, mirip pisau lempar dengan dua sisi tajam) pada lehernya. “Jangan bergerak atau lehermu putus,” bisikku padanya. Pria itu menegang dan kaku dalam genggamanku. Ia tak bergerak dan balas berbisik dengan putus asa.

“Jangan bunuh aku. Kumohon. Berapapun akan kubayar asal kau melepaskanku.”

Penjelasan mengenai rencana yang hendak kulakukan dengan bantuan ayahmu sudah berada di ujung lidah, akan tetapi yang keluar dari mulutku bukan kata-kata melainkan darah. Aku mendengar ayahmu mengerang sakit. Kutatap bingung kunai-ku yang masih tak menyentuhnya. Saat sedang memproses apa yang terjadi, aku merasakan logam tipis ditarik menjauh dari perutku, menembus punggung ayahmu sebelum tubuh tinggi tegap itu ambruk di hadapanku.

Seorang pemuda dengan surai sekelam malam dan lingkaran hitam di bawah mata balas menatapku. Ia mengibaskan pedang wushu-nya dan menyebabkan cipratan merah menodai tembok.

“Tao!!” geramku.

Seharusnya aku tahu, Lord Kris akan mengirim ular itu untuk mengawasiku. Kutatap mata gelapnya dengan marah. Namun, ia tak memandangku. Kristal kelamnya mengarah pada seseorang di belakangku. Ia melompat melewatiku di lorong yang sempit itu dan berlari ke arah ibumu yang mulai menjerit. Kulempar shuriken ke arah ahli wushu itu. Dua shuriken menggores bahu dan menancap di punggungnya. Empat yang lain ditangkisnya.

Pedang tipisnya beradu dengan katana-ku saat kutebaskan logam itu padanya. Luka yang menganga di perutku membuat gerakanku melambat. Beberapa kali senjatanya mengiris kulitku, namun aku juga berhasil melukai pahanya. Kuarahkan ujung pedangku tepat menuju lehernya saat suara tembakan terdengar.

Dua peluru. Satu merobohkan ibumu yang terpaku tak tahu harus berbuat apa. Satu lagi menembus pundakku dan membuatku terjatuh di hadapan Tao yang memandangku dingin. Aku terbatuk dan memutar tubuh untuk melihat Lord Kris bersandar pada jendela dengan revolver kesayangannya.

“Sudah kuduga kau akan mengkhianatiku, Kiriyume,” ujarnya bosan. Tungkai panjangnya menghampiri tubuhku yang meringkuk di atas lantai. Ujung sepatunya membalikkan tubuhku hingga wajahku dapat menatap sosoknya yang menjulang dengan jelas.

“Kau gagal menjalankan tugasmu, gadis manis. Kau tahu apa hukumanmu, bukan?” Ia menyeringai sinis sebelum memberi isyarat pada Tao.

Don’t you dare!!” raungku sambil menarik kakinya yang terjerat rantai Kusarigama knife-ku (pisau yang terhubung dengan rantai dan memiliki bandul pemberat di ujungnya). Pria tinggi itu terjerembab dan aku menghunus katana-ku. Mengarahkan ujungnya yang runcing pada nadi di lehernya.

You can’t kill me,” bisiknya. “Ore-sama wa kisama no otou-san dayo, Kiriyume-chan.” Lord Kris menyeringai meremehkanku yang gemetar. Ia benar, aku tak bisa membunuhnya… Meskipun aku membencinya…. Bagaimanapun perlakuannya…. Betapapun aku ingin membunuhnya…. (“Aku adalah ayahmu, Kiriyume-chan”)

…aku tidak bisa membunuh pria ini.

Berteriak kesal, aku menginjak perutnya dan melemparkan shuriken ke arahnya. Satu merobek pipi tirusnya yang mulus, lima yang lain mengunci gerakannya di lantai.

Tak mempedulikan cairan merah yang terus membanjir keluar dari tubuhku, aku melompat ke kusen jendela. Iris hitamku mendapati Tao berlari di jalanan di bawahku. Aku tahu ke mana ia akan pergi. Menjalankan perintah Lord Kris untuk… membunuhmu.

Sebelum aku sempat turun dari jendela dan meraih talang air untuk kupanjat turun, sebuah letusan kembali memutus jalan pikiranku. Peluru kecil itu mengoyak dadaku dan membuatku kehilangan pijakan.

“Kau terlalu naif, gadis kecil,” suara berat Kris adalah hal terakhir yang kudengar sebelum desau angin memenuhi telingaku diikuti derak tulangku yang berbenturan dengan aspal jalan.

Sakit….

Bisa kurasakan aliran darah meninggalkan tubuhku. Membasahi pakaianku dan membuat genangan merah di atas aspal hitam.

 

Apakah aku akan mati?

 

 

Mengerang keras, kupaksa tubuhku untuk berbalik. Air mata memenuhi pelupuk mataku. Sakit. Sakit sekali. Tapi aku tidak boleh mati! Tidak! Aku harus mengejar Tao. Aku harus mencegah Tao mencapai tempatmu…

Tao...

Mataku yang kabur menampilkan sosok pemuda dengan pedang wushu itu berdiri tak jauh dariku. Aku tak bisa melihat matanya, tapi aku tahu ia tengah menatapku. Memandang iba pada rivalnya yang meregang nyawa dan menyedihkan bagai ulat yang terinjak? Aku tak peduli. Aku hanya mempedulikanmu. Aku hanya memerintahkan otakku untuk menyeret tubuh ini. Jemariku yang licin mencakar jalanan. Kutancapkan kuku di tanah, menjadi topangan, kuhela tubuhku maju. Teriakan tulang-tulangku yang patah dan ngilu tak kudengarkan.

Tao tak bergerak dan hanya membiarkanku saat aku berhasil menyeret tubuhku melewatinya.

 

Kenapa?

Ia tak berusaha mengejarku. Ia tak berusaha menghentikanku.

 

Kenapa?

 

Apa karena ia tahu aku akan segera mati?

 

Apa karena ia tahu aku takkan bisa mencapai tempatmu?

Pemikiran itu membuat kristal bening jatuh dari mataku. Erangan sakit keluar dari kerongkonganku. Aku menggelungkan tubuh, berusaha meredam perih tak terkira akibat luka di perutku yang bergesekan dengan aspal.

Aku harus menemuimu…. Aku harus memperingatkanmu…. Aku harus melindungimu….

Aku ingat pertemuan pertamaku denganmu.

 

Kau menolongku memunguti buku yang berserakan di saat orang-orang menginjaknya.

 

Kau membantuku membawa buku itu di saat orang-orang mengacuhkanku.

 

Kau berbicara padaku di saat orang-orang menjauhiku.

 

Aku ingat, senyum lebarmu dan suara beratmu yang menyihirku.

 

Aku ingat, kebaikanmu adalah hal yang membuatku terjatuh pada pesonamu….

Paras indahmu memenuhi benakku sebelum pandanganku mendadak menjadi gelap. Tak ada yang bisa kulihat. Tidak jalanan, tidak pohon, tidak langit malam, bahkan tidak jemariku sendiri. Aku melolong. Kutarik pita suaraku untuk memprotes pada siapapun yang telah merebut penglihatanku. Akan tetapi, aku tak mendengar apapun. Tak ada suara yang keluar dari mulutku. Tak ada suara yang terdengar oleh telingaku, bahkan desah napasku sendiri….

Bisa kurasakan cairan hangat mengaliri pipiku. Bercampur dengan genangan merah yang terus keluar seiring tubuhku tak lagi mampu untuk bergerak maju.

 

Aku ingin menemuimu…. satu kali lagi saja. Aku ingin melihat wajahmu…. Sosok indahmu… senyum lembutmu… Sinar hangat matamu…

 

Aku ingin memberitahukan sesuatu padamu….

 

 

Kau tersenyum menatapku. Bibirmu merekah lebar. Matamu bersinar hangat. Suara beratmu memanggilku. Aku mengulurkan tanganku yang bersimbah darah. Susah payah kusodorkan boneka phoenix hasil jahitanku. Jahitannya tak rapi dan ia basah karena darahku.

 

Aku belum terlambat, kan?

“Sae…ngil.. chu…kae… Chan… Yeol…-ssi….”

 

…saranghae…

.

>KiriYume<

.

 

“Kau tidak membunuhnya, Lord?”

“Tak ada alasan bagiku. Tunggu 10 tahun lagi dan kepalanya akan berharga lebih mahal dari bayaran yang kita terima malam ini.”

.

.

Mimpi indah, kabut mimpiku.

 

Dunia ini terlalu kejam untuk kau ikuti.

 

.

 

.

 

.

 

A/N: Halo, Allotropy di sini~

Tumben sekali ya aku bikin ff straight? Huehehehehe… Ini ff yang aku ikutin buat event di wp exoff sebetulnya, tapi aku ga menang hiks T__T

Gomawo udah baca, apalagi like dan komen ^^

Regards,

Allotropy

0

[FIC] KAWAKUCHI「乾く血」

KAWAKUCHI「乾く血」

 

Lo jadi mau nge-kos, Yas?” tanya seorang pemuda dengan rambut seperti landak. Temannya yang memakai kacamata minus mengangguk. “Nyokap lo ngijinin?” tanya mahasiswa itu lagi, sangsi.

“Tadinya sih nggak. Tapi setelah gue jelasin mereka ngerti kok,” sahut pemuda bernama Tyas itu.

Lo yakin, Yas?” tanya Rezqi.

Tyas menatapnya heran. “Kenapa emang?”

Yaah…lo kan, orangnya kelewat cuek, Yas. Emang bisa tinggal sendiri?’ batin Rezqi. Tapi alih-alih mengutarakannya, ia malah mengubah topik. “Lo udah dapat tempat yang cocok?”

“Ada beberapa calon sih, rencananya siang ini gue mau survey. Kalau udah dapet, besok langsung cabut,” ungkap  Tyas. Rezqi hanya mengangguk-angguk sebagai tanggapan.

 

「乾く血」

 

Tyas kembali memencet bel di rumah itu. Ini sudah rumah ke-4. Dan dari ke-3 rumah sebelumnya, Tyas belum menemukan tempat yang sreg. Panas matahari yang cukup terik, membuat laki-laki dengan paras tampan ini menatap pintu kayu di hadapannya dengan agak tak sabar.

Saat hendak memencet bel sekali lagi, terdengar langkah kaki dan bunyi kunci diputar. Pintu yang kokoh itu perlahan terbuka, dan Tyas terkejut karena yang pertama dilihatnya dari celah itu adalah seuntai rambut hitam yang tergerai. Sedikit demi sedikit, pemilik rambut itu melongokkan wajahnya. Tapi ia tetap menyembunyikan sebagian wajahnya di balik pintu.

‘Cewek, ya?’ batin Tyas. ‘Anak kecil gitu udah berani pake contact lens.’ Laki-laki itu ngedumel dalam hati menyadari sosok di depannya yang hanya memiliki tinggi mencapai dadanya itu menatapnya dengan bola mata berwarna abu-abu.

“Orang tuanya ada, Dek?” tanyanya sambil berusaha tersenyum ramah.

“Tidak ada”, sahut anak itu datar.

“Oh–begitu? Sayang sekali. Padahal kupikir tempat ini cocok,” gumam Tyas pada dirinya sendiri. “Ya sudah, kalau orang tuamu tidak ada…” Ia sudah hendak pergi, tapi gerakannya terhenti karena anak kecil itu melangkah mundur dan membukakan pintu lebih lebar.

“Masuklah,” ujarnya, masih dengan ekspresi datar.

“Eh?” Tyas memandang anak itu dengan heran. “Tidak. Tidak usah—“

“Kau ingin ngekos, kan? Tidak ingin lihat-lihat dulu?”

“Yah….sebenarnya….ehmh…tapi….orang tuamu…”

“Sudah kubilang tidak ada!” ujar anak itu. “Kenapa dari tadi terus menanyakan mereka? Sama sekali tidak ada hubungannya, kan? Ini rumahku. Aku yang pasang iklan itu.”

“Eh?” Tyas membenarkan letak kacamatanya dan memandang anak di hadapannya dengan tatapan aneh. ‘Rumah sebesar ini milik anak kecil sepertinya? Paling-paling dia masih kelas 1 SMP! Tidak mungkin! Tapi….’ Entah kenapa, Tyas merasa nyaman dengan rumah itu. Memang sedikit suram, tapi…suasananya melankolis dan sepertinya tempat yang cocok untuk menyendiri..

“Kau mau masuk atau tidak?” Pertanyaan anak itu mengusik lamunan Tyas. Laki-laki itu pun akhirnya melangkah masuk, dan anak itu membawanya berkeliling rumah.

 

Tyas memandang kamar di lantai 2 itu dengan seksama. Luas. Ada balkon yang menghadap ke timur, dan kamar mandi lengkap dengan bath thub dan shower. Suasananya juga hening. Mahasiswa itu mengangguk-angguk sambil tersenyum puas.

“Baiklah, sudah kuputuskan. Aku akan tinggal di sini,” ujarnya.

“Kau suka tempat ini?” Suara dingin anak itu kembali menggelitik perhatian Tyas.

“Ya.”

“Itu bagus,” ujarnya. Sudut bibirnya tampak terangkat membentuk senyuman—atau lebih tepat disebut seringaian? Namun, Tyas tak menyadari hal itu.

Lalu selama beberapa saat mereka berbincang masalah biaya dan cara pembayaran. Tyas mengangguk-angguk. “Baiklah. Sore ini akan langsung kutransfer. Jadi, besok aku sudah boleh pindah?”

“Terserah kau,” sahut anak itu sambil berbalik hendak pergi meninggalkan Tyas.

“Ah—tunggu dulu. Aku Tyas Andhika. Namamu?” tanyanya sambil mengulurkan tangan. ‘Biar bagaimanapun, harus menjalin hubungan baik dengan pemilik rumah, kan?’

Anak kecil itu menatap tangan Tyas beberapa saat sebelum akhirnya menjabatnya. “Sandy,” ujarnya.

Lagi-lagi Tyas dibuat terkejut. Tangan kecil yang menjabatnya itu….terasa dingin. Padahal suhu ruangan mencapai 28 derajat Celcius. Setelah diperhatikan, Tyas juga baru menyadari, kulit anak itu sungguh pucat. Putih, seperti susu, tapi tampak pucat.

“Kau tinggal di rumah ini sendirian?” tanya laki-laki itu, sedikit penasaran.

“Ada pembantu,” sahutnya sambil menarik tangannya.

“Lalu, yang ngekos di sini, apa hanya aku saja?”

“Bulan ini baru kau,” anak itu kembali menjawab dengan dingin.

Seharusnya jawaban anak itu dapat mengundang pertanyaan, seperti : ‘Apa maksudnya dengan bulan ini?’  Tapi, Tyas tak peka akan hal itu. Ada hal lain yang mengusik perhatiannya.

“Kau cewek yang berani, ya? Tinggal di rumah sebesar ini sendirian, menerima anak kos, kau tidak takut?” tanyanya.

Gara-gara perkataannya itu, ia harus menerima tatapan tajam dari bola mata berwarna kelabu milik anak di hadapannya. Mata itu memicing, dan Tyas bisa merasakan ada rasa tersinggung dan kesal yang terpancar dari sana.

“Kenapa?” tanya pria ini heran.

“Aku bukan perempuan! Aku ini laki-laki!” ujar anak itu kesal.

“Eeeh?!” Tyas tak bisa menahan keterkejutannya. Ia memandang anak itu dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Rambut hitam yang tergerai di punggung, mata abu-abu dengan bulu mata panjang, kulit seputih susu, tapi….memang benar, dia memakai T-shirt lengan panjang dan celana jeans biru—bukan rok!

“Dasar! Mahasiswa macam apa kau!? Membedakan laki-laki dan perempuan saja tidak bisa! Payah!” gerutu anak itu sambil pergi meninggalkan ruangan. Meninggalkan Tyas yang belum pulih dari keterkejutannya.

 

「乾く血」

 

Begitu dosen kimia organik itu meninggalkan ruangan, Tyas langsung membereskan barang-barangnya dan bersiap pergi. Tapi gerakannya terhenti ketika sebuah lengan mungil bergelang banyak merangkul tangannya.

“Mau ke mana sih, Yas? Buru-buru amat,” ujar gadis itu.

“Iya nih. Kebiasaan si Tyas! Nggak suka bareng kita-kita lagi, nih?” tanya Rezqi

“Buka gitu, Rez. Gue harus kerja sambilan, nih,” sahut Tyas mencoba mejelaskan.

Meyla, gadis yang sedari tadi nempel padanya, menatap Tyas dengan kening berkerut dan tatapan aneh. “Ngapain juga lo kerja sambilan, Yas?” tanyanya. “Setahu gue ortu lo orang berkecukupan!?”

Dalam hati Tyas mengeluh. Susah juga punya teman-teman anak borjuis yang taunya cuma foya-foya. “Ortu gue emang nggak kekurangan, La. Tapi gue cuma ingin ngurangin beban ortu aja,” Tyas berkata hati-hati sambil melepaskan tangan Meyla dari lengannya. “Apalagi sekarang gue nge-kos. Gue mau belajar mandiri, biar nggak nyusahin ortu!”

Bukannya tersinggung karena rangkulannya ditolak Tyas, Meyla malah terlihat semakin kagum dengan cowok kutu buku tapi keren itu.

“Eh—elo nge-kos, ya? Di mana?” tanya Ardi sambil memuta-mutar topi di tangannya.

“Di daerah X—”

“Daerah X!? Serius, lo, yas!?” jawaban Tyas terpotong karena seruan tertahan Ardi. “Daerah X di belakang kampus kita itu maksud lo!?”

Tyas menatap sohibnya bingung. “Iya, daerah situ,” jawabnya.

Lo kenapa sih, Di!? Kayak abis liat setan aja!” tanya Rezqi ngeledekin si Maniak Topi.

Di luar dugaan, Ardi bangkit berdiri dan menunjuk Rezqi dengan penuh semangat. Rezqi yang nyangka bakal diajak berantem udah siap pasang kuda-kuda. Tapi Ardi malah menepuk pundak temannya dan meremasnya.

“Itu dia, Rez! Setan!” seru Ardi girang. Rezqi hanya menatapnya aneh.

Tanpa mempedulikan Rezqi, si penyuka skateboard ini lalu menghampiri Tyas dan meremas bahunya. “Lo harus cepet pindah dari sana, Yas! Ini menyangkut nyawa lo!” ujarnya dengan mimik tegang.

Tyas menatapnya aneh. “Kenapa emangnya?”

“Rumah itu ada setannyaㅡ” Perkataan Ardi terputus karena Tyas mendadak tertawa. “Yee, malah ketawa lagi! Gue serius Yas!” ujar mahasiswa itu sedikit tersinggung.

“Ok. Ok. Terus, apa setannya? Vampir? Drakula? Atau manusia serigala?” tanya Tyas.

Ardi tak menggubris nada sindiran dalam suara Tyas. “Gue denger rumor kalau di daerah X itu ada sebuah rumah angker dan misterius. Kabarnya di rumah itu ada setan pemakan manusia, yang keluar tiap awal dan akhir bulan! Korbannya adalah anak-anak mahasiswa yang nge-kos! Kayak elo!” jelasnya. “Setan itu juga suka makan pembantu yang kerja di rumah itu! Menurut kesaksian warga, ada sebuah rumah besar kuno yang pembantunya selalu beda tiap bulan.”

Tyas mendengus. “Alaah.. gue nggak percaya yang kayak gituan,” ujarnya sambil menepis tangan Ardi dari pundaknya. “Nonsense banget, sih!”

Ardi mendecak tak sabar. “Gue nggak bohong, Yas! Tante gue pernah tinggal di sana. Dia cerita pagi-pagi setelah bulan baru, tante gue nemuin tulang belulang manusia yang masih segar dan ada tetesan darah yang mengarah ke rumah itu!” ujarnya dengan suara bergetar.

Lo serius, Di?” tanya Meyla gemetar.

Gue juga pernah denger rumor itu sih,” sahut Rezqi ikut nimbrung.

Lo bener-bener harus pindah, Yas!” ujar Meyla cemas.

 “Gue nggak percaya takhayul kayak gitu! Buktinya, gue udah tinggal di sana selama 4 bulan, dan masih hidup, kan?” ujar Tyas kesal sambil meraih tasnya.

“Tapi tetep aja bahaya! Elo sendiri bilang kalau tempat itu agak nyeremin. Iya, kan?” tanya Rezqi.

“Siapa tahu setan itu ada di tempat kos-an elo, Yas!” ujar Ardi.

Dengan dengusan kesal, Tyas menatap mereka. “Denger, ya! Pemilik rumah itu cuma anak SMP, jadi—”

“Nah! Nah!” Ardi memotong penjelasan Tyas. “Itu lebih aneh lagi, Yas!”

“Selain kamu, yang ngekos di rumah itu siapa lagi?” tanya Meyla.

Tyas terkejut mendapat pertanyaan itu. Itu pertanyaan umum, tapi Tyas tak pernah memikirkannya. Benar juga, siapa lagi selain dirinya yang nge-kos di sana? Karena jadwal kuliah yang padat dan harus kerja sambilan serta tugas-tugas di lapangan yang menumpuk, membuat Tyas tak mempedulikan keadaan tempatnya nge-kos. Baginya tempat itu hanyalah tempat untuk tidur.

Rezqi menghela napas. Dia sudah menduga, Tyas tidak akan mengetahui hal itu. “Tadi lo bilang, pemiliknya anak SMP? Siapa namanya?” tanyanya. “Jangan-jangan lo nggak tahu namanya, lagi!”

“Tahu, kok!” sahut Tyas. “Namanya Sandy…..”

“Sandy…?”

“Dia Cuma bilang namanya Sandy!” ujar Tyas membela diri, sadar bahwa dia tak tahu apa-apa tentang anak itu—bahkan nama lengkapnya pun…

Kali ini bukan hanya Rezqi yang menghela napas.

“Apaan, sih?! Udah, ah! Gue cabut dulu!” Sambil berkata begitu, cowok berkacamata minus itu bergegas meninggalkan ketiga temannya.

Ardi, Rezqi, dan Meyla hanya bisa kembali menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.

“Pantes aja nyokapnya cemas,” gerutu Rezqi.

“Tyas emang terlalu cuek,” gumam Meyla.

Ya. Itu memang kelemahan terbesar Tyas. Terlalu cuek…. Gara-gara kebiasaannya itu, dia tidak sadar bahwa pembantu di rumah tempatnya nge-kos selalu berganti tiap bulan…….

 

「乾く血」

 

Tyas melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Pukul setengah sembilan malam. Ia berjalan dengan gontai karena kelelahan. Langit tampak kelam, tak satupun bintang yang terlihat. Tiba–tiba petir menyambar diikuti suara yang memekakkan. Tyas agak terlonjak karena kaget. Setetes hujan membasahi lengannya. Yang selanjutnya diikuti dengan tetesan–tetesan lain yang seolah berlomba mencapai tanah. Laki-laki itu pun mempercepat langkahnya, bahkan setengah berlari ia menuju rumah itu.

Beberapa menit kemudian, ia sudah sampai di depan pintu. Seorang wanita sekitar umur 30-an membukakan pintu untuknya dan menyerahkan sehelai handuk kering padanya.

“Ah—terimakasih,” ujar Tyas. Setelah melepas sepatunya, ia naik menuju kamarnya di lantai atas sambil mengelap tetesan hujan di tubuhnya.

Begitu sampai di kamar, ia langsung menggeletakkan tasnya begitu saja di lantai, lalu merebahkan diri di atas kasur. Dengan handuk menutupi wajahnya, Tyas memejamkan mata dan membiarkan dirinya bermalas-malasan sejenak.

Beberapa saat kemudian, laki-laki itu bangun dan hendak bersiap mandi. Ia sungguh terkejut saat mendapati ada sebuah sosok berdiri di ambang pintunya.

“Ada apa?” tanyanya dengan jantung berdegup kencang. Ia merasa tubuhnya agak merinding menatap anak itu. Kulitnya tampak begitu pucat, dan mata abu-abunya….tampak kosong.

Sandy hanya menatap Tyas dengan ekspresi datar. “Tidak ada. Hanya ingin memperingatkanmu. Malam ini bulan baru, sungguh gelap. Jangan keluar dari kamar di atas jam 10 sampai malam berakhir. Atau….Sang Iblis akan memakanmu,” ujarnya dengan suara dinginnya yang khas. Sudut bibirnya melengkung membentuk seringaian—yang anehnya, malah terlihat senang.

Tanpa bisa ditahan, Tyas merasakan aura dingin menyengatnya. ‘Jadi anak ini juga termakan rumor konyol yang diceritakan si Ardi itu?’ tanyanya dalam hati, berusaha menghilangkan perasaan janggal yang menyelusup di hatinya.

Setelah diingat-ingat, rasanya tiap awal dan akhir bulan anak itu memang selalu mengatakan hal yang sama padanya. Menyuruhnya untuk tidak keluar kamar sampai malam berakhir. Tapi anehnya, Tyas baru ‘ngeh’ dengan peringatan itu.

“Ok. Ok. Tidak usah khawatir. Aku akan mandi dan langsung tidur,” ujar mahasiswa itu.

Sandy sudah hendak berbalik meninggalkannya, tapi langkahnya terhenti karena panggilan Tyas.

“Eh—tunggu! Boleh aku tahu namamu?” tanya mahasiswa itu dengan canggung. “Nama lengkapmu?”

Mata abu-abu itu menatap dengan tajam sebelum terdengar jawaban, “Sandy… Kawakuchi. Nama keluargaku Kawakuchi.”

 “Kau orang Jepang, ya?” tanya Tyas.

“Ya. Kakekku orang Jepang. Dia yang mewariskan ini padaku,” sahut Sandy. Terdengar penekanan dengan nada geram saat ia mengatakannya. Sayangnya—lagi-lagi—Tyas tak sadar.

“Ah, maksudmu kulit putih dan mata abu-abu-mu itu ya? Sepertinya itu bukan contact lens?”

Mata kelabu itu kembali menatap dengan ekspresi dingin. “Jangan pernah tinggalkan kamarmu sebelum malam berakhir,” gumamnya sambil berlalu.

 

「乾く血」

 

Biasanya begitu menyentuh bantal dan terlindung selimut, Tyas langsung tertidur dengan sangat pulas tanpa ada yang bisa membangunkannya kecuali sinar matahari. Tapi, entah kenapa malam itu berbeda. Laki-laki itu terjaga karena ingin ke toilet. Begitu menyelesaikan urusannya dan keluar dari toilet, entah kenapa tiba-tiba rasa kantuknya hilang. Ia jadi tidak ingin melanjutkan tidur. Padahal jam bekernya baru menunjukkan pukul 1 malam. Mahasiswa itu lalu teringat bahwa esok harinya ia ada presentasi, dan berniat mempelajari materinya.

‘Sepertinya enak kalau ditemani kopi,’  batinnya.

Tanpa memakai kacamatanya, ia pun mendekati pintu. Saat tangannya siap membuka pintu, ia teringat peringatan yang diucapkan anak bernama Sandy itu. Sejenak Tyas merasa ragu. Tapi kemudian ia memutuskan bahwa itu hanya ocehan anak kecil, dan melangkah keluar kamar.

Rumah itu gelap gulita. Lampu yang menyala hanya dari kamarnya saja. Sambil ditemani suara tetesan hujan yang terus mengguyur tanpa henti, Tyas menuruni tangga menuju dapur yang terletak tepat di samping tangga. Begitu tiba di anak tangga terakhir, Tyas menyalakan lampu dan berjalan menuju lemari tempat cangkir-cangkir disimpan. Saat hendak membuka pintu lemari, laki-laki itu melihat ada sesuatu yang mengusik perhatiannya, di lantai tak jauh dari kakinya. Ia pun berjongkok dan menelitinya. Sebuah noda, seperti tetesan cairan yang kental dan pekat. Tyas menyentuh cairan itu dengan ujung jarinya dan mengendusnya. Bau amis langsung menyeruak penciumannya. Itu darah! Darah manusia. Dan masih segar!

Tyas menyadari ada banyak tetesan darah lain di ruangan itu, membentuk jalur menuju ruang duduk. Ia bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang aneh sedang terjadi. Cerita Ardi kembali terngiang di telinganya. Suara hatinya menyuruhnya untuk tidak usah mempedulikan hal itu. Sebaiknya ia tidak usah tahu, dan cepat kembali saja ke atas… ke kamarnya!

‘Jangan pernah tinggalkan kamarmu sebelum malam berakhir!’

Tyas tahu, jika ia mengikuti alur tetesan darah itu, sesuatu yang buruk telah menunggunya. Dan tubuhnya gemetaran membayangkan apa yang terjadi. Tapi rasa ingin tahunya membuatnya berjalan mengikuti jejak darah itu, menuju ruang duduk. Saat pikirannya kembali bergelut untuk memaksanya berbalik, kembali ke atas dan lupakan semuanya; tanpa sadar ia sudah berdiri di depan pintu ruang duduk.

Pintu itu setengah tertutup, dan seperti ruangan lain—kecuali kamar Tyas dan dapur—ruangan itu pun gelap gulita. Tyas setengah berharap bahwa tidak ada apa-apa di ruangan itu, dan tetesan darah itu hanya halusinasinya saja. Tapi sayangnya, permohonannya tak terkabul.

Saat petir menyambar dan menerangi ruangan itu, Tyas melihat pemandangan yang membuat tubuhnya membeku. Matanya melebar dan mendadak ia menjadi tuli dan bisu.

Di sana, di tengah ruangan, terlihat seorang wanita yang tergeletak tak berdaya dengan tubuh tercabik. Dan di atasnya….ada sesosok lain yang sedang… memakannya!

Menyadari kehadiran orang lain, sosok dengan rambut hitam panjang itu mendongak. Mata abu-abunya yang kosong bertemu dengan mata coklat Tyas. Kulit putihnya terlihat berlumuran darah—terutama di sekitar mulut.

Tyas tak bisa bergerak, tubuhnya terpaku. Ia sangat terkejut, sama sekali tak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Sebelum ia sempat berpikir apa-apa lagi, dalam satu detik sosok itu telah berdiri di hadapannya dengan jarak yang sangat dekat.

“Kau melihatnya,” bisik Sandy dengan tatapan marah. Bau amis yang menyebar dan aura dingin yang menyergapnya, membuat Tyas hanya diam membatu. Ia menatap sosok anak kecil itu dengan ketakutan. Suaranya tercekat di tenggorokan.

“Padahal aku sudah memperingatkanmu! Kenapa kau meninggalkan kamarmu?” tanya suara dingin itu. Dan dengan pandangannya yang buram, Tyas melihat ada ekspresi sedih yang tergambar di bola mata abu-abu itu. Tapi, Tyas masih tak mampu bereaksi apa-apa. Apalagi menatap taring yang berlumuran darah itu…

“Sayang sekali. Padahal aku tidak ingin kau tahu,” bisik anak itu sebelum—dengan gerakan yang sangat cepat—menerkam Tyas sehingga membuat mahasiswa itu terjungkal ke belakang, dan… menggigit lehernya. Taring itu menembus kulitnya dan masuk ke pembuluh darahnya. Rasa sakit membuat laki-laki itu mendapatkan kembali suaranya.

“…kenapa…?”

 “Nama Kawakuchi ditulis dengan kanji ‘kawaku’ yang berarti ‘rasa haus’ dan kanji ‘chi’ untuk ‘darah’. Ini adalah kutukan turun temurun,” sahut suara dingin itu perlahan, sambil menolak memandang mata coklat Tyas.

“Kawaku…chi?” tanya Tyas. Dengan gemetar, tangannya mencengkeram bahu Sandy yang berada di atasnya. Anak itu menoleh, dan menatap wajah Tyas yang menahan sakit. Mata coklat itu seolah memohonnya untuk segera menghentikan rasa sakit yang dideritanya. Meski sekilas dan tampak buram, Tyas bersumpah ia melihat ekspresi sedih di wajah pucat anak itu. Dengan gerakan cepat, ia kembali menggigit leher Tyas dan merobek nadinya. Terdengar jeritan tertahan dari mulut mahasiswa itu, sebelum akhirnya ia diam tak bergerak. Hanya darah yang terus mengucur deras dari luka di lehernya.

‘Jangan pernah tinggalkan saksi! Makan saja! Makan!!’

Perkataan kakeknya kembali terngiang di telinga Sandy. Meski begitu, ia hanya membiarkan darah itu terus mengucur. Ia telah kehilangan selera makannya, meski perutnya meronta karena lapar.

Di luar, hujan masih terus turun membasahi bumi. Meski hujan begitu deras, rumah itu aman dari tetesan hujan. Tapi, ada tetesan air bening yang jatuh menimpa genangan darah. Tetesan air yang jatuh dari bola mata berwarna abu-abu dan mengalir di pipi pucat yang ternoda darah. Di sela suara petir dan gemericik hujan, terdengar suara bisikan di tengah kegelapan. Sebuah bisikan yang sarat kesedihan, kepedihan, dan keputusasaan….

Doushite….boku….!?” (Kenapa..aku..!?)

 

「乾く血」

 

~ owari_selesai~

 

A/N: yak, sebetulnya ga tau sih kanji kawaku dan chi kalo digabungin jadinya apa =”=a

Ini cerpen yg pernah kuikutsertakan dalam lomba di suatu majalah bertahun-tahun silam dan aku udah lupa majalahnya apa. Tapi ga menang, jadi iseng aja ku-post di sini 😛

3

[EXO-FANFIC] Senyummu Membawa Luka

Title: Senyummu Membawa Luka

Author: AllotropyEquilibria

Genre: romance

Cast: Kris,Chanyeol, Luhan, Baekhyun, Litz (OC)

Length: oneshot

Rating: PG-13

Disclaimer: member EXO milik Tuhan dan milik diri mereka sendiri.  Saya hanya memiliki OC dan alur cerita ini saja. Ide murni keluar dari sel-sel kelabu dalam otak saya dan terinspirasi dari ucapan seniorku pada seorang pemimpin dalam suatu kepanitiaan yang pernah kuikuti.

.

 

SENYUMMU MEMBAWA LUKA

 

.Senyummu Membawa Luka

 .

.

 

“Senyummu membawa luka.”

 

Kris hanya bisa menatap kepergian gadis itu dengan beribu pertanyaan tak terjawab berseliweran dalam benaknya. Ia tak sempat menanyakan arti dari kalimat yang diucapkan gadis itu. Karena gadis itu terlanjur pergi, dan entah kenapa Kris tiba-tiba merasa lidahnya kelu, tak mampu berucap apa-apa.

.

.

.

‘Senyummu membawa luka.’

 

Litzy memandang kembarannya dengan ekspresi terkejut. “Siapa yang mengatakan itu padamu?” tanyanya.

Sambil menghela napas, Kris menjatuhkan diri di pinggir kasur Litzy, lalu mengangkat bahu. “Kalau tidak salah namanya Yoo Mae.”

Mata Litzy semakin melebar karena kaget. “Yoo Mae? Maksudmu Lee Yoo Mae anak kelas 3 yang jadi perwakilan studi banding ke Jerman itu??”

Siswa SMA yang tampan ini hanya mengangguk, tampak tak begitu peduli. Sejujurnya, dia tak terlalu mempermasalahkan siapa orangnya. Dia hanya penasaran dengan kalimat yang diucapkannya.

“Jadi? Kau tahu artinya tidak, Litz?” Kris menatap saudara kembarnya yang sedang duduk bersandar di atar kasur dengan buku di pangkuannya itu, dengan tatapan bertanya-tanya. Ia mendapati Litzy terdiam sambil menunduk, mungkin sedang berpikir?

‘Kalau Litzy yang sangat melankolis dan suka menggunakan kata-kata berkonotasi yang aneh-aneh itu saja tidak tahu, berarti –‘

 

Kris tak sempat melanjutkan pemikirannya karena gadis yang memiliki paras identik dengannya itu mengangkat wajahnya. Raut keheranan Kris bertemu dengan mata sendu dan senyum penuh arti dari Sang Saudari.

.

.

.

“Itu kalimat ambigu. Memiliki dua pengertian yang saling bertolak belakang. Pengertian yang pertama…” Litzy menggantung kalimatnya lalu menatap kembarannya dengan senyum jahil. “Sebagai ketua student council, tidak boleh disuapi, kan, Kris?”

Kris hanya mengerutkan alisnya.

“Kalau ingin tahu pengertian yang pertama, coba kamu perhatikan Luhan.”

“Luhan? Xi Luhan teman kita waktu Elementary School itu?”

Litzy mengangguk dan tersenyum.

 

.

 

“Luhan ya…?” gumam Kris.

“Kenapa, Duizzhang?” tegur Baekhyun sambil meletakkan tumpukan map berisi laporan pertanggungjawaban dari para ketua ekstrakulikuler, di atas mejanya. “Pagi-pagi begini alismu sudah berkerut-kerut begitu, cepat tua, loh” lanjutnya lagi sambil melirik pimpinannya yang duduk di kursinya sambil melipat wajah.

Jam istirahat itu memang hanya ada mereka berdua di Student Council Room. Sejak tadi Baekhyun memperhatikan Sang Duizzhang yang juga idola di sekolah mereka itu hanya diam melamun.

“Apa ada masalah?” Baekhyun kembali bersuara, kali ini dengan nada serius.

“Ah, ani. Tidak ada apa-apa,” sahut Kris. “Eh – kau lihat Luhan?”

“Luhan kelas 2-3?” tanya Baekhyun memastikan

Kris mengangguk-angguk.

“Kalau tidak salah tadi aku lihat dia di perpustakaan.”

Dengan mantap, Kris pun bangun dari kursinya dan segera berlari meninggalkan ruangan sambil sebelumnya meneriakkan “Gomawo!”

.

.

.

“Ada apa, Kris?” tanya Luhan dengan was-was. Tidak biasanya Sang Duizzhang Student Council ini mencarinya sampai ke perpustakaan. “Ada masalah?”

Pertanyaan siswa dengan kulit putih dan tubuh kecil itu tak mendapat sahutan dari Kris. Ia hanya menatap Luhan dalam diam. Selama beberapa saat, Kris terus memandang wajah manis Luhan sambil terus berusaha mencari tahu apa maksud Litzy.

“Haaahhh…. Aku tidak mengerti!” Akhirnya Kris memutus kontak mata dan menjatuhkan dirinya di kursi di hadapan Luhan. Sebelah tangannya menopang kening. “Litzy sialan!” gerutunya kesal.

Sementara Luhan hanya menatapnya dengan bertanya-tanya. “Apa mereka sedang bertengkar, ya?”

.

.

.

“Kenapa tidak langsung kau jelaskan saja, sih, Litz!?” seru Kris dengan kesal.

Bel tanda istirahat berakhir belum berbunyi, dan Sang Duizzhang menyempatkan diri mengunjungi kembarannya di kelas 2-5. Kehadirannya itu telah membuat suasana menjadi lebih ramai. Bukan saja karena tadi dia berseru dengan suara keras. Akan tetapi, kehadiran sosok tingginya yang mempesona itu sendiri telah banyak menyedot perhatian.

Litzy memandang saudaranya dengan alis terangkat. Ekor matanya mendapati banyak gadis yang menatap Kris dengan nafsu dan tatapan tajam menusuk. Sesuatu hal yang sampai sekarang tak pernah disadari Kris.

Kris itu populer, Litzy tahu pasti hal itu. Dengan mata tajam, tubuh tinggi, kulit putih, sikap yang tegas dan agak dingin, jelas membuat dia disukai banyak yeoja. Apalagi otaknya cerdas dan kharismatik. Jabatan ketua student council yang disandangnya hampir satu semester itu jelas membuat popularitasnya semakin naik.

Namun, Litz tahu pasti bagaimana workaholic-nya Kris. Rasa tanggung jawabnya yang tinggi itu membuat dia mencurahkan seluruh perhatiannya pada Student Council. Sehingga membuatnya tidak sadar bahwa…

‘…bahwa senyumnya membawa luka,’ lanjut Litz dalam hati.

“Litz!!” Kris berseru semakin kesal karena mendapati kembarannya malah melamun. “Kenapa tidak langsung jelaskan saja?!”

“Kita akan lebih mengerti jika menemukannya sendiri, Kris,” sahut Litzy.

Kris mendecak kesal dan menjatuhkan dirinya di kursi di samping Litzy. Ia tahu, tidak mudah membujuk separuh dirinya itu. Litzy yang keras kepala dan berprinsip kuat itu!?

“Tapi aku tidak mengerti, Litz,” keluh siswa itu. Hanya di hadapan Litzy dia akan bermanja-manja dan bersikap seperti anak kecil begini. Di hadapan Litzy, ia tak perlu sok kuat dan penuh wibawa lagi. Litzy kenal dirinya luar dalam. Meski kadang, ia tak bisa mengerti Litzy sepenuhnya.

“Yang namanya memperhatikan itu berarti mengetahui segala hal tentangnya, mengetahui setiap perubahan kecil yang terjadi padanya, memberikan perhatian lebih padanya, dan peduli pada semua hal yang berhubungan dengannya. Yang namanya memperhatikan itu bertujuan untuk lebih mengenal seseorang,” ujar Litzy.

Kris menatapnya, mencoba menyerap maksud dari kalimat itu.

“Ayolah! Masa Duizzhang Student Council mudah menyerah seperti ini?!” ujar Litzy sambil menepuk bahu adiknya.

“Aish! Iya iya! Tidak usah bawa-bawa jabatan itu segala!” gerutu Kris. Ia berdiri dan melenggang meninggalkan kelas.

.

.

.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4 lewat. Hampir setengah jam berlalu sejak bel pulang berbunyi. Akan tetapi, sekolah masih cukup ramai oleh para siswa yang masih betah. Termasuk Kris dan Baekhyun yang kembali mendekam di student council room.

Baekhyun yang sekretaris student council itu sedang mengecek dan mengarsipkan laporan pertanggungjawaban. Sementara Kris, lagi-lagi sedang melamun di kursinya.

“Mengetahui segala hal tentangnya, ya?” gumam Kris. Meski dibilang sebagai teman semasa elementary school, ia tak begitu mengenal Luhan. Itu karena dia dan Litzy di kelas B sementara Luhan di kelas A. Ia mengenalnya karena Luhan adalah peraih peringkat pertama saat ujian akhir, menyeret dia dan Litzy ke peringkat 2 dan 3. Tapi selebihnya, Kris bisa dibilang tak tahu apa-apa tentang Luhan.

Kris bangun dari kursinya dan menghampiri Baekhyun yang sedang bekerja dengan laptop milik student council.

“Baekhyun-ah, coba lihat data siswa,” pintanya.

Baekhyun mendongak menatapnya. “Mau cari tahu tentang siapa?”

“Luhan.”

Sebagai pengurus student council, mereka memang memiliki data semua siswa di SM High ini. Selama beberapa saat, Kris mempelajari data yang diperoleh mengenai Xi Luhan.

“Hmmm…. memang data akademik begini kurang bisa membantu, ya,” gumamnya pada diri sendiri. Ia sudah hendak menyerah ketika matanya mendapati sesuatu yang aneh pada daftar absensi Luhan.

“Dia jarang masuk?” tanyanya pada Baekhyun, dengan kening berkerut.

Siswa mungil dengan mata kecil itu mengangguk. “Hal itu sudah jadi pembicaraan guru-guru. Dia pintar, tapi sering tidak masuk. Sekalinya tidak masuk, bisa sampai 2 minggu. Bahkan lebih,” jelasnya.

Kerutan di kening Kris semakin dalam. “Wae?”

“Aku dengar sih, katanya dia sakit….”

“Sakit?”

“Nde. Malah, aku dengar dari teman sekelasnya, dia tidak tinggal bersama orang tuanya. Orang tuanya di luar negeri, aku tak tahu pasti di mana.”

“Mwo? Lalu, bagaimana….?”

Baekhyun mengangkat bahu. “Kalau ingin dapat info tentang Luhan, tanya Sehun saja. Mereka kan, dekat. Dari kelas1 mereka sekelas.”

“Sehun? Ketua klub dance itu?”

“Nde. Anak-anak klub dance pasti masih di ruang latihan…..”

Tanpa ba-bi-bu lagi, Kris langsung melesat pergi menuju ruang latihan klub dance, meninggalkan Baekhyun yang keheranan.

“Kenapa Kris dari tadi tanya-tanya tentang Luhan terus, ya?”

.

.

.

Siswa dengan wajah dingin yang terkesan ketus itu menatap Sang Duizzhang dengan tatapan dalam. Mungkin ketua klub dance ini ingin menilai apakah siswa di hadapannya bisa dipercaya untuk ia beritahu mengenai hal-hal yang diketahuinya tentang Luhan.

Kris menunggu dengan agak was-was. Ia tahu, jawaban yang akan keluar dari mulut Sehun mungkin akan menjelaskan maksud Litzy.

Akhirnya Sehun memutus kontak mata, menghela napas, dan menyelonjorkan kakinya dengan rileks di lantai yang dingin. Seakan tahu bahwa kedua orang itu hendak membicarakan hal pribadi yang tak ingin diketahui siapapun, orang-orang dengan tertib meninggalkan mereka berdua.

“Ya, dia jarang masuk, karena sakit,” ujar Sehun.

“Sakit apa?”

“Radang ginjal dan usus.”

“Parahkah?”

“Lumayan parah. Kami sering melihatnya meludahkan darah….”

Kris terlihat sangat terkejut. “Kenapa –“

“Dia tidak mau,” Sehun memotong perkataan Kris. “Dia tidak mau dirawat di rumah sakit, dia tidak mau orang-orang tahu bahwa dia sakit.”

Kris mengerutkan keningnya tak mengerti.

“Dia mudah lelah. Kami sudah berusaha membuatnya tak terlalu kelelahan. Tapi… dia senang membuat dirinya sendiri sibuk,” ujar Sehun sambil memberi isyarat ke arah sekretariat klub dance. Di sana, tampak Luhan sedang membereskan ruangan itu.

“Dia tidak mau diperlakukan seperti orang sakit. Dan dia tidak pernah mengeluh bahwa ia sakit,” lanjut Sehun.

“Kalian pernah menjenguknya waktu sakit?” Kris kembali bersuara setelah sejak tadi terdiam.

“Kami pernah mencoba beberapa kali,” sahut Sehun. “Tapi, menjenguknya adalah tindakan yang salah.”

Kris menatapnya tak mengerti.

“Saat kami ke rumahnya, dia malah memaksakan diri dan bersikap seolah dia tidak apa-apa. Dan esoknya, dia akan masuk sekolah. Padahal dia masih sangat lemah dan wajahnya masih sangat pucat seperti mayat hidup.” Sehun menjelaskan. Mata dinginnya terlihat sendu.

Kris juga terdiam. Ia tidak menyangka… Luhan yang ia tahu adalah siswa cerdas bertubuh mungil yang selalu ramah dan ceria dengan tutur kata yang halus dan sopan. Ia tak pernah menyangka bahwa….

“Apa ini penyelidikan dari student council?” tanya Sehun tajam.

Agak terkejut, Kris mendongak menatapnya. Matanya bertemu dengan kristal kembar Sehun yang terlihat waspada dan penuh selidik.

Sambil menghela napas, Kris menunduk dan menjawab perlahan, ”Bukan. Ini penyelidikan dari seorang Kris.”

.

.

.

Dengan benak yang masih penuh dengan percakapan yang baru dilakukannya dengan Sehun tadi, Kris berjalan kembali menuju ruang student council. Saat melewati lorong belakang ruang latihan klub dance, langkah Kris terhenti karena mendengar nama Luhan disebut oleh mereka yang tengah berkumpul di sana.

“Luhan rajin sekali, ya? Beres-beres ruang sekretariat sendirian.”

“Dia memang tidak bisa diam, kan?”

“Tapi, apa dia tidak akan kecapekan nantinya?”

“Aah, Luhan itu kasihan sekali. Aku tidak tega.”

“Tinggal sendirian tanpa orang tua. Lalu ditambah sakitnya itu! Kalau aku yang ada di posisinya, aku pasti tidak akan bisa tersenyum lagi.”

“Kau benar. Kalau aku, pasti bakal muram terus. Tapi dia tidak….”

“Benar juga, ya? Rasanya tidak pernah aku lihat Luhan muram. Pasti selalu tersenyum.”

“Selalu bersikap ceria, seolah dia tidak apa-apa. Padahal kan, pasti sakit….”

“Padahal dia terluka, tapi selalu tersenyum seolah menutupinya….”

Teg.

 

Kris terkejut. Itukah? Itukah jawabannya? 

‘Senyummu membawa luka.’

 

Dalam senyummu ada luka. Itukah pengertian pertama yang dimaksud Litzy? Itukah sebabnya Litzy memintanya memperhatikan Luhan? Jadi, Litz sudah lebih dulu tahu, bahwa Luhan membawa luka dalam setiap senyumannya?

.

.

.

“Senyummu membawa luka.”

 

Pengertian pertama: di balik senyuman itu, tersembunyi luka.

“Makanya modelnya Luhan, ya?” gumam Kris. Tapi, Kris tidak merasa dirinya semenderita itu sampai-sampai senyumannya hanyalah topeng untuk menutupi kesedihan. Meski dia sering stress karena masalah di student council, tapi Kris tidak merasa selalu membawa luka dalam senyumannya.

“Kalau begitu, mungkin pengertian yang kedua, ya?”

.

“Kalau ingin tahu pengertian yang kedua, kau harus memperhatikan Chanyeol.”

“Chanyeol? Chanyeol mana?” 

“Mana lagi? Chanyeol teman sebangkumu itu!”

 

.

 

“Chanyeol, ya?” Kris menoleh menatap teman sebangkunya yang sedang asyik memainkan game di i-pad-nya.

‘Kenapa Chanyeol?’ Sambil bertanya-tanya dalam hati, Kris terus memperhatikan sahabatnya itu.

Merasakan tatapan menusuk Kris, Chanyeol pun menoleh. “Kenapa Kris? Dari tadi terus melihatku, ada yang aneh?” tanyanya.

Bukannya menjawab, Kris malah menyipitkan pandangannya, meneliti dengan seksama wajah Chanyeol.

Mungkin Luhan memang cocok dijadikan model karena dia menyimpan masalah dan kesedihan yang mendalam. Tapi kalau Chanyeol….? Sejak kelas 1, Kris dan Chanyeol selalu sekelas, bahkan selalu sebangku. Dan sepengetahuan Kris, Chanyeol tak memiliki masalah sepelik Luhan, sampai cocok dijadikan modelnya Litzy….

“Kau kenapa, sih, Kris? Tatapanmu tajam sekali. Mengerikan!” ujar Chanyeol meninju pelan bahu Kris.

Kris tak membalas. Ia hanya menghela napas dengan kening yang masih berkerut. “Kenapa harus kau, Chanyeol?” gumamnya.

“Mwo?” Chanyeol menatap temannya tak mengerti.

“Aku tidak mengerti kenapa harus kamu,” ujar Kris tak mempedulikan Chanyeol yang kebingungan.

Kalau perkataan Kris itu membuat Chanyeol mengerutkan keningnya keheranan, sebaliknya, Bo Eun yang tak sengaja mendengar pembicaraan itu menatap mereka dengan sangat terkejut.

“Kris… aku tidak menyangka… Selama ini aku memang sudah curiga. Tapi… aku tidak menyangka… Aku tidak menyangka kalau ternyata kau dan Chanyeol….” Gadis itu tak melanjutkan kata-katanya dan malah berlari keluar kelas dengan heboh. Hampir saja ia menabrak mereka yang baru datang dari kantin sambil membawa makanan.

Chanyeol menatap kepergian Bo Eun dengan wajah bertanya-tanya. “Kenapa dengan Bo Eunnie?” tanyanya kebingungan. Tapi, Kris hanya terdiam sambil berpikir. Sepertinya Sang Duizzhang tak sadar dengan reaksi heboh Bo Eun. Chanyeol hanya menghela napas mendapati sahabatnya yang memang kadang suka tak peka lingkungan itu.

.

.

.

Istirahat siang itu Kris baru kembali dari ruang Student Council saat indera pendengarnya mendengar suara bentakan diiringi dengan gebrakan berbagai macam benda. Instingnya mencium suatu masalah dan membawa tungkai panjangnya memutari ruang kelas dan menuju lorong sepi di dekat gudang.

“Kau jangan besar kepala hanya karena dia baik padamu!”

“Dia tidak mungkin melirik yeoja kutu buku aneh sepertimu! Dia hanya simpati padamu!”

“Sebaiknya kau bercermin! Memanfaatkan tugas untuk berdekatan dengannya! Jangan cari muka! Dia hanya menjalankan tanggung jawabnya!”

“Bukan berarti ia tertarik padamu hanya karena dia memperhatikanmu!”

Kalimat-kalimat bernada pedas yang sesekali diselingi rintihan dan isak perlahan itu semakin jelas terdengar di telinga Kris saat tungkainya semakin mendekati gudang. Ruangan yang terletak di pojok dan sering diabaikan itu terkunci. Tepat di sampingnya, beberapa orang siswi sedang berkumpul. Bahkan dari tempatnya berdiri pun terlihat jelas mereka sedang memojokkan seseorang.

“Kalian sedang apa?” tanya Ketua Student Council ini dengan nada dingin yang berbahaya.

Begitu mendengar suara beratnya, orang-orang itu serentak menoleh ke arahnya. Raut horor dan cemas terpahat jelas di paras mereka. Sebelum digantikan dengan senyum manis dan tampang innocent yang hanya dibalas Kris dengan raut datarnya.

“Ah, Duizzhang. Ani~ Kami hanya mengobrol. Annyeong~” sahut mereka sebelum serempak berlari dengan langkah canggung dan semburat merah di paras cantik berlapis make up itu.

Kris mengikuti kepergian gadis-gadis itu dengan tatapan tajam. Tidak ia sangka kegiatan bullying masih terjadi di jaman seperti ini. Bahkan di sekolahnya, SM High yang elit ini. Bahkan dengan dirinya sebagai Ketua Student Council! Ia harus memikirkan solusi untuk mencegah hal semacam ini terjadi lagi.

Menggerakkan postur jangkungnya menghampiri seorang siswi yang tertinggal di pojok lorong, Kris membungkuk dan mengulurkan tangan. Niatan untuk menyentuh pundak kecil yang terisak itu terhenti di udara karena gadis itu berseru di tengah tangisnya.

“Jangan pedulikan aku jika kau tidak memiliki perasaan padaku, Duizzhang! Kau membuatku salah paham. Kau membuatku merasa spesial….!” ujarnya tanpa menatap pemuda itu, lalu berlari begitu saja. Meninggalkan Kris yang hanya bisa mengerutkan dahi tak mengerti.

Kenapa ia tak boleh menolong orang yang memang bisa ditolongnya? Ia tidak mengerti….

 

Ketua Student Council ini kembali menuju kelasnya. Dengan pikiran yang masih dipenuhi berbagai pertanyaan, lensanya menangkap sosok Litz berdiri di depan ruang kelasnya. Pemuda ini hendak memanggil Sang Saudari dan kembali mendesaknya untuk menjelaskan saja arti yang kedua, ketika iris kelamnya mendapati separuh jiwanya itu tengah bersama seseorang. Lebih tepatnya sedang berbincang dengan seseorang yang ada di sisi lain pintu kelas.

“Omona, apa yang Chanyeol lakukan padamu?”

“Ani… bukan salahnya… dia memang berhak begitu…. memang haknya untuk tersenyum pada siapapun. Hanya saja… hatiku sakit melihatnya….”

Deg!

 

Potongan kalimat yang tiba-tiba mencapai telinga dan menyeruak pikirannya itu membuat Kris menghentikan langkah. Irisnya beralih dari sosok Litz pada beberapa orang yeoja yang sedang duduk di kantin – yang letaknya memang sangat dekat dengan ruang kelasnya. Sepasang kristal pemuda berpostur tinggi ini menatap lekat siswi yang tengah berusaha keras menahan air matanya itu lewat jendela.

Apa barusan yang dikatakan yeoja itu? Ia terluka melihat Chanyeol tersenyum?

“Aigoo.. sudahlah, jangan menangis. Chanyeol memang seperti itu.”

“Nde… aku paham dia memang baik pada siapapun.. tapi… sakit sekali… Kupikir sikapnya padaku spesial… ternyata tidak… ia tersenyum dengan cara yang sama pada siapapun… Karena berharap macam-macam, aku jadi terluka… memang aku yang bodoh….”

Kris tertegun di tempatnya berdiri. Itukah arti kedua?

 

Senyummu membawa luka…. pada orang lain?

 

Sepasang kristal kelam pemuda ini melebar seiring ingatannya memutar lagi kejadian beberapa saat lalu. ‘Jangan pedulikan aku jika kau tak memiliki perasaan padaku’ Kenapa? ‘Karena senyummu… memberi harapan yang sebenarnya tak ada…?’

 

Begitukah? 

Begitukah artinya?

Merasakan belitan pertanyaan di sel kelabu otaknya terurai dengan halus, Kris mempercepat langkahnya menghampiri Litz yang masih berdiri di depan kelasnya. Namun, lagi-lagi langkah kaki pemuda ini terhenti.

Bukan, bukan posisi mereka yang menghalangi jalan masuk itu yang membuat siswa berparas serius ini tertegun. Bukan juga karena yang sedang menjadi lawan bicara Litzy ternyata Chanyeol. Bukan. Duizzhang Student Council ini menghentikan langkahnya di tengah lorong karena lensanya menangkap sesuatu yang tak pernah dilihatnya pada raut Sang Saudari. Pada sepasang kristal yang kini memancarkan sinar yang berbeda dengan yang biasa ditunjukkannya di rumah.

Sebuah pemahaman lain membuat Kris hanya terdiam mematung. Menatap separuh dirinya tertawa bersama Chanyeol, hingga bel masuk berbunyi.

.

.

.

Angin sore yang berhembus perlahan membelai surai pirang Litz yang menumpukan bobot tubuhnya pada pagar besi bercat tembaga itu. Memejamkan mata, gadis ini tersenyum menyadari keberadaan seorang lain di balkon kamarnya.

“Kau sudah menemukan jawabannya?” tanya gadis ini tanpa membuka mata.

“Mianhe….” sahut pemuda yang ternyata adalah Kris itu.

Litz terkekeh dan menatap kembarannya. “Kenapa tiba-tiba minta maaf?”

Pemuda bertubuh atletis itu mengangkat bahu dan ikut menyandarkan punggung di sebelah Litz. “Karena telah membuat kalian terluka?” sahutnya tetap dengan paras dinginnya. Meski begitu, Litz tahu saudaranya ini sebetulnya tengah menyembunyikan raut sedihnya.

Gadis bersurai panjang itu terkekeh perlahan. “Kami terluka, bukan salah kalian…. Meski senyum itu bukan hanya milik kami, kami tetap bahagia menerimanya. Makanya, tetaplah beri kami senyuman itu,” ujarnya sambil menatap adik kembarnya dengan tatapan halus. Bibir tipisnya sendiri mengulas senyum.

Kris terdiam dan hanya mengerutkan alisnya dalam.

“Apakah… kami harus berhenti tersenyum agar.. kalian tak lagi terluka?” Suara dalam Kris kembali terdengar setelah beberapa saat hanya desau angin yang mengisi ruang di antara mereka.

“Pabbo. Kalau kalian berhenti tersenyum, kami akan semakin terluka,” sahut Litz.

Kris mendesah. “Yeoja itu rumit sekali,” keluhnya.

Litz kembali tertawa pelan.

Lagi, laki-laki berahang kuat itu terdiam dan membiarkan keheningan menyelinap di antara mereka. Hanya melarikan lensanya pada dedaunan di pohon halaman belakang. “Kenapa kau tak pernah memberitahuku?”

“Hm?” Litz menatap adik kembarnya heran.

“Bahwa kau juga terluka….”

Sepasang kristal gadis itu terlihat melebar sesaat sebelum kembali menjadi sendu. “Jadi, kau akhirnya menyadari hal itu juga?”

Kris melirik saudaranya tajam. “Saudara macam apa kau, menyembunyikan hal semacam itu!?” gerutunya. Mendapati Litz hanya terkekeh sebagai tanggapan, Kris mengacak surai pirangnya kesal. “Aaaah!! Kenapa aku jadi terbawa melankolis sepertimu. Hissh…!”

“Tidak apa-apa, kan? Sekali-sekali. Sepertinya aku harus berterimakasih pada Yoo Mae-eonnie karena sudah membuat Duizzhang Kris yang tidak pernah peka itu akhirnya menyadari hal ini. Hahaha.”

“Tsk.”

“Ngomong-ngomong… aku akan mengalah jika lawanku adalah kau,” ucap Litz tiba-tiba.

Kris memandangnya tak mengerti. “Hah? Lawan apa?” tanyanya bingung.

“Serius. Aku akan mundur jika kau yang bersamanya,” ujar gadis itu lagi sambil menatap separuh dirinya itu dengan tatapan penuh arti dan kilat jahil di lensanya.

Mengerutkan kening, Kris berusaha menyerap ke mana arah pembicaraan saudarinya ini. Siapa? Tidak mungkin –!!

“Sungguh, kalian pasangan yang cocok! Pantas saja dari kelas satu sampai sekarang kalian tak terpisahkan!”

“LITZ!!!” Pemuda beriris tajam ini menatap gadis di hadapannya dengan kesal. Raut dinginnya semakin menekuk melihat saudarinya itu malah tertawa semakin keras.

“Salahmu sendiri mengatakan hal ambigu di hadapan Bo Eun. Hahahaha!”

“Tsk. Sial. Awas saja kalau kau menyebarkan gosip aneh-aneh. Haish!”

Masih terkekeh, Litz mengacak surai pirang Kris yang sedikit gondrong. Kris menepis jemari itu dan membawa tubuh tingginya meninggalkan balkon. “Kau harus meluruskan salah paham itu pada Bo Eun! Aku dan Chanyeol??! Haisshh! Micheoso!?” gerutunya.

Gadis bersurai panjang itu menatap punggung lebar Sang Adik menghilang ke dalam rumah dengan senyum masih terukir di wajahnya.

Senyummu memang membawa luka, tapi kami lebih memilih untuk terluka daripada sama sekali tak melihat senyum kalian….

 

Karena itu… tetaplah tersenyum….

.

.

.

END

.

0

Perenungan Tugas Survey Drainase

Sedikit cerita sebelum pergi ke alam mimpi malam ini barangkali.

Tadi siang, berempat menyusuri Jalan Merdeka, Jalan Aceh, Jalan Wastu Kencana, dan Jalan LL RE Martadinata hingga kembali ke jalan merdeka untuk tugas survey mata kuliah drainase. Di tengah terik matahari, menyusuri trotoar, membungkuk-bungkuk mencari keberadaan street inlet, berjongkok demi mengukur dimensi drainase yang ada. Saat melewati kawasan BEC dan kembali melakukan pengukuran pada drainase di dekat para penjual yang nangkring di sepanjang jalan seberang BEC itu, ada seorang bapak (penjual sepertinya) yang nyeletuk bertanya pada kami “Mau dibenerin ya Neng?” Saat itu aku rasanya tertohok dan kami hanya bisa tertawa canggung sebagai jawaban. Entah kenapa aku merasa miris dan malu saat itu. Karena, lihatlah, bagaimana ‘masyarakat’ berekspektasi begitu tinggi terhadap kita mahasiswa. Padahal sejujurnya kami tak memiliki kuasa untuk melakukan perombakan atau perbaikan sistem drainase ini. Untuk tugas ini memang kami akan membuat desain rancangan kami, lalu ada final report. Akan tetapi, jujur saja, saya tidak tahu apakah akan berakhir sampai di situ saja atau mungkin dapat diaplikasikan? Namun, tugas drainase dan sewerage ini bukan hanya tahun ini saja, bukan? Tentu tahun lalu dan tahun2 sebelumnya juga pernah melakukan survey, membuat desain baru yang ideal dan final report. Tapi, lalu apa? Adakah aplikasinya? Apakah ide2 cemerlang mahasiswa untuk perbaikan ini hanya berakhir di meja dosen? Hanya berakhir di indeks nilai akhir mata kuliah dan hanya mempengaruhi IP?

Saya tak bermaksud bashing atau menyalahkan pihak manapun. Saya hanya merasa diri saya ditampar dengan pertanyaan sederhana bapak itu. Pertanyaan sederhana yang terasa begitu berat hingga lidah ini kelu untuk memberikan jawaban. Dan yang bisa keluar dari kerongkongan kering siang tadi hanya sebuah perkataan lirih, “Semoga bisa diwujudkan perbaikannya, pak” Yang saya tak tahu apakah udara dapat menyampaikan gelombang bunyi itu pada indera pendengar sang penanya atau tidak.

Oke, saya sedikit sok tau soal tujuan akhir tugas ini sebetulnya. Tapi, bisakah kita ‘menyentuh’ pemerintah terkait masalah drainase dan sewerage ini?

Tapi, di samping merasa tertampar, saya merenung juga. Seandainya pun pemerintah melakukan perbaikan terhadap sistem drainase ini, hasilnya akan tetap sama tak optimal jika masyarakat masih tidak paham akan fungsinya. Bahwa drainase itu bukan saluran sampah, melainkan saluran air hujan.

Memang memerlukan kerja sama semua pihak :”|a
Sebagai seorang mahasiswa, bagian mana yang bisa kita lakukan?
Jawabannya mungkin bisa dengan membuat desain yang sebaik mungkin ya. Untuk itu mari belajar autocad huehehehe….

4

[EXO-FF] If I could Meet You Now

Title: If I could Meet You Now

 

Author: AllotropyEquilibria (@allotropy117)

 

Genre: romance, angst

 

Cast: Chanyeol (main) others EXO members

 

Pairs: BaekYeol (main)

 

Length: oneshot

 

Rating: PG-15

 

Disclaimer: BaekHyun dan ChanYeol milik Tuhan dan mereka memiliki diri mereka masing-masing dan saling memiliki :”> Cerita murni keluar dari sel-sel kelabu dalam otak saya.

 

Warnings:  shounen ai a.k.a boyxboy. Don’t like? Don’t read then. It’s very simple, rite?

 

A/N: Hola, Allotropy di sini. Ini adalah ff yang pernah kuikutsertakan dalam Big Giveaway dari exoindonesia di twitter, tapi ga menang T___T (malah curcol *plak*) Setelah persetujuan adminnya, ff ini ku-publish pertama kali di exofanfiction fanpage di facebook dan karena iseng ku-post juga di sini.

 

Oke deh, selamat menikmati~

 

.

 

.

 

.

 

 

If I Could Meet You Now

 

.

 

 

Gelap.

 

Dingin.

 

Basah.

 

Tak sampai. Tak tergapai.

 

Tidak, jemari-jemari pucat itu jatuh. Jatuh. Semakin jauh dalam kegelapan.

 

Tak terlihat. Tak sempat. Hanya udara. Hanya kekosongan yang kugenggam dalam jariku…..

 

.

 

.

 

.

 

Dengan satu sentakan, aku membuka mataku. Sepasang kristal coklatku menajam waspada. Bisa kurasakan napasku memburu di tengah keheningan ruangan. Aliran keringat menelusuri punggungku dan membasahi piyama. Rasa sakit menghantam dadaku, seolah ada suatu lubang yang mendadak terbentuk di sana. Yang tak kumengerti karena apa. Lensaku berpindah cepat dari langit-langit kelabu pada secercah cahaya samar dari balik tirai, pada gundukan selimutku yang jatuh di lantai dan….

 

Tanpa perintah dari otak, bibirku refleks tertarik membentuk seulas senyum kala irisku memantulkan sosokmu yang masih tertidur dengan damai. Debar jantungku yang tak terkendali mereda saat kupandangi sosok indahmu. Lagi, tubuhku bergerak secara otomatis untuk turun dari tempat tidur dan menghampirimu. Lututku tertekuk dan mencicipi dinginnya lantai agar pandanganku sejajar dengan wajahmu yang masih terpejam.

 

Kau mungkin tak pernah tahu, betapa aku begitu suka memandangi sosokmu saat tidur.

 

Pundak kecilmu naik turun dengan irama yang tenang. Bibir mungilmu sedikit membuka. Sepertinya tidurmu nyenyak. Aku kembali tersenyum mengagumi keindahan di hadapanku. Sisi wajahku kutempelkan pada pinggir kasurmu. Seiring ujung jemari panjangku menyentuh pelan surai coklatmu. Telunjukku bergerak turun dan mengarah pada pipi lembutmu. Namun, belum sempat kontak kulit terjadi, suara pintu membuka memutus perhatianku. Sosok Suho-Hyung adalah yang tertangkap lensaku kala aku menoleh.

 

“Kau sudah bangun?” sapanya dengan senyum ramahnya yang biasa. Menggantikan sekelebat tatapan sedih yang terpancar singkat di kedua irisnya saat menyadari posisiku. Aku hanya mengangguk padanya sebagai balasan.

 

“Kalau begitu cepatlah turun. Sarapan sudah siap,” ujarnya kemudian dan bersiap meninggalkan ruangan. Barangkali berniat menuju kamarnya yang pasti berisi Sehun yang belum bangun.

 

Sebelum sosoknya menghilang di balik pintu, sebuah pertanyaan terlontar dari mulutku. “Hyung, Baekhyun di mana? Sudah turun duluan?”

 

Aku tak tahu kenapa kata-kata itu meluncur dari bibirku. Lidahku seolah mengkhianati mata dan pikiranku saat merangkai kalimat itu. Ekspresiku datar saat Suho-hyung berbalik perlahan dan melirik kasurmu dengan senyum sedih.

 

“Cepatlah mandi dan turun sarapan, Chanyeol-ah,” jawabnya dengan suara tercekat. Aku hanya memandanginya dalam diam. Tak mengerti kenapa ia tak menjawab pertanyaanku tentangmu.

 

.

 

.

 

.

 

Wangi masakan yang lezat adalah hal yang menyambutku saat tubuh tinggiku tiba di ruang makan. Meja kotak yang dipenuhi makanan itu telah terisi penuh.

 

“Yah! Sehun-ah, jangan dihabiskan dagingnya!” seruku melihat maknae yang sedang dalam masa pertumbuhan itu mengambil daging dari piring begitu banyak. Ia hanya memeletkan lidahnya ke arahku.

 

“Semua sudah kebagian jatahnya Chanyeol-ah, tenang saja,” ujar Kyungsoo sambil meletakkan mangkuk nasi di hadapan Jongin.

 

Aku nyengir lebar ke arah mereka seiring kaki jenjangku kubawa menghampiri meja dan duduk di kursi di sampingmu. Kau menyapaku dengan senyum manismu. Senyum indah yang membuatku berdebar dan kubalas juga dengan cengiran terbaikku. Sebelum aku sadar meja di hadapanmu kosong. Alisku mengerut dan ekspresiku mengeras.

 

“Yah! Kenapa kalian melupakan jatah Baekkie?” tanyaku. Lontaran pertanyaan yang seketika membuat ruangan hening. Jongin dan Sehun yang sedang berebut sosis menghentikan pertengkaran mereka seolah Tao benar-benar bisa menghentikan waktu saat itu.

 

Tatapanku kuarahkan pada Kyungsoo yang hanya terdiam dengan matanya yang melebar. “Aish! Kalian ini jahat sekali. Kenapa hanya Baekhyun yang belum dapat jatah?” sungutku sambil mengambil satu mangkuk dan memasukkan nasi ke sana. Lengkap dengan daging asap dan tuna asam manis yang dibuatkan Kyungsoo. Kusodorkan makanan itu ke hadapanmu sebelum aku mengambil bagianku. Tak mempedulikan udara yang entah kenapa mendadak terasa berat di ruang makan.

 

.

 

.

 

.

 

Aku baru saja selesai mandi saat Manajer-hyung meneriakkan jadwal kami untuk besok sebelum meninggalkan dorm dan mewanti-wanti kami untuk beristirahat cukup setelah jadwal yang melelahkan hari ini.

 

“Kalian dengar itu? Tidur yang cukup. Jangan kebanyakan main games!” ucap Kyungsoo pada Sehun dan Jongin yang sejak sampai di dorm tadi langsung asyik di depan layar. Keduanya tidak menjawab dan terus berseru dengan heboh. Mengacuhkan Kyungsoo yang hanya mendecak frustasi. Aku terkekeh pelan pada mereka sambil mengeringkan rambutku yang basah.

 

Bunyi kunci yang diputar membuatku menoleh ke arah pintu dan mendapati Suho-hyung mengunci pintu setelah mengantar Manajer-hyung ke depan dorm.

 

“Hyung, kenapa dikunci? Baekhyun kan, belum pulang,” ujarku padanya. Aku tak memberi perhatian pada sikap Suho-hyung yang mendadak menegang dengan gerakan tangan menggantung di udara. Kristal kembarku menatapnya lurus, menuntut jawaban. Aku terlalu fokus mempertanyakan sikap leader yang kami hormati ini sehingga ruangan yang mendadak tak lagi dipenuhi teriakan-teriakan dua maknae itu tak memberi efek apa-apa pada otakku.

 

“Sudah larut, Chanyeol-ah. Tidurlah,” sahutnya dengan seulas senyum getir.

 

“Tapi Hyung –“

 

“Ayo tidur! Kau mendapat banyak part untuk syuting besok.” Tak memberiku kesempatan untuk membantah, Suho-hyung mendorong tubuh tinggiku menuju kamar. Mengerahkan segenap tenaganya agar aku mau menyeret kaki menjauh dari pintu masuk. Senyum simetrisnya seolah menyuruhku untuk menelan kembali pertanyaan atas ketidakhadiranmu di dorm.

 

‘Kenapa? Apa kau pergi dengan manajer-hyung?’

 

.

 

.

 

.

 

Mungkin memang pemanasan global yang membuat hari ini hujan turun begitu deras padahal tadi pagi matahari bersinar begitu cerah. Butiran-butiran air hasil evaporasi dari air permukaan itu berlarian mencapai tanah. Memercik keras membawa gumpalan kecil butiran pasir yang menyebabkan cipratan lumpur. Menimbulkan genangan yang membentuk aliran di atas aspal yang berlomba menuju saluran drainase. Percikan air yang menghantam pinggiran atap sedikit membasahi tubuhku sejak aku berdiri di bawahnya tak terlindungi tembok.

 

Beberapa staff berlarian dari arah taman menuju tempat berteduh. Membawa serta berbagai peralatan yang masih tertinggal. Kuabaikan berbagai dengungan pembicaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarku. Indera pendengarku dipenuhi irama hujan. Iris kembarku tak lepas memandangi partikel air yang bening di kejauhan.

 

Sepasang lensaku menangkap sosokmu di tengah aliran hujan yang deras ini. Membawa payung hitam di tanganmu sambil menghampiri sosokku yang juga berdiri di tengah air. Basah kuyup oleh butiran yang tak mau berhenti turun.

 

“Chanyeol-ah, kau marah padaku?” tanyamu sambil berusaha melindungiku dari tetesan hujan dengan payung kecilmu.

 

Aku memiringkan kepalaku dengan bingung. Kenapa aku harus marah padamu? Bukankah justru kau yang membenciku, Baekkie-ah? Bukankah justru kau yang mendendam padaku karena aku –

 

Sebuah tepukan di pundak membuat kepalaku meninggalkan pemandangan hujan dan berganti menatap sosok Sehun yang entah kenapa terlihat khawatir. “Hyung, mereka bilang akan mulai scene di dalam ruangan saja sambil menunggu hujan reda,” ujarnya. Iris gelapnya melirik ke arah tempat di mana aku memfokuskan pandanganku tadi. Barangkali penasaran apa yang begitu menarik perhatianku di tengah hujan.

 

“Ayo masuk, Hyung. Nanti kau basah,” lanjutnya sambil menarik pergelangan tanganku. Menyeretku menjauh dari sosokmu dan sosokku yang masih berdiri di tengah percikan air.

 

.

 

.

 

.

 

Desah lega terdengar bersahutan seiring semua member memasuki van dan mencari posisi nyaman pada kursi masing-masing. Jadwal hari ini tak kurang melelahkan dari hari-hari sebelumnya. Akibat berbagai faktor, syuting CF yang seharusnya hanya akan ditampilkan selama beberapa menit perlu dilakukan selama beberapa jam. Meski begitu semuanya menyenangkan. Syutingnya, photoshoot-nya, interview-nya juga berjalan sukses. Aku kembali mendesah senang mengingat reaksi fans di dalam studio tadi. Begitu membahagiakan dapat membuat mereka berteriak seperti itu.

 

Aku meremas jemari kecilmu dalam genggamanku sebelum aku menoleh dan tersenyum lebar. Kau membalas senyumku dengan senyum hangat. Sebelum surai indahmu merendah dan menyentuh bahuku seiring kau bersandar di sana dengan nyaman. Gelegak menyenangkan memenuhi perutku. Menggelitik jantungku yang lagi-lagi berpacu cepat karena tindakan sederhana darimu.

 

Aku ingin seperti ini selamanya. Dengan kau di sampingku dan seluruh member EXO bersama kita….

 

“Hyung, kenapa selama interview tadi kau terus-menerus menyebut nama Baek-hyung?” Suara rendah Jongin secara kasar memecah fokusku dari sosokmu. Aku menatapnya dengan alis bertaut.

 

“Memangnya kenapa? Sehun juga selalu menyebut Luhan-hyung. Kau juga sering menyebut soal Kyungsoo. Kenapa aku tidak boleh bercerita soal Baekhyun?” tanyaku dengan nada tersinggung. Kuberi member berkulit gelap itu tatapan menantang. Hei, aku tidak salah, kan? Memangnya kenapa kalau aku menyebut-nyebut Baekhyun?

 

“Tapi Hyung, itu berbeda! Baekhyun –“

 

“KAI!” Seruan keras dari Suho membuat Jongin terdiam dan tak melanjutkan kalimatnya. Aku mengamati Jongin yang menunjukkan gestur memprotes pada Suho dan ekspresi Sang leader yang tampak keras dan tak mau dibantah. “Cukup,” desisnya dengan raut tegang tergambar di paras halusnya yang biasa dipenuhi senyum. Kudapati mereka bertukar pandang intens sebelum lead dancer itu mendecak marah.

 

Aku menatap mereka tak mengerti dan menggeleng tak paham. “Kenapa kau yang tersinggung dan jadi ribut, Jongin-ah? Baekhyun saja tidak protes apa-apa aku menyebut-nyebut soal dirinya,” ujarku membela diri sambil menatapmu yang mendongak dan menampilkan cengiran padaku.

 

Senyum lebar yang kuberikan padamu sebagai balasan seketika menghilang saat irisku menangkap ekspresi Jongin yang menatapku tak percaya. Matanya melebar dengan mulut terbuka sebelum dengusan kesal diiringi dengan gerutuan frustasi terlontar darinya.

 

.

 

.

 

.

 

“Yeollie, kau cocok ikut CF untuk produk pasta gigi. Apa pernah ada orang yang menawarimu untuk itu?” tanyamu dengan tawa renyah.

 

Aku melebarkan tarikan bibirku sambil menatap pantulan cermin. Tersenyum geli mengingat celetukan randommu. Selama beberapa saat aku terdiam di depan benda berbahan kaca itu. tidak, bukan sosokku yang kupandangi dalam cermin. Aku tak tahu menatap apa. Pandanganku tak fokus. Aku hanya terdiam di sana. Sesekali menatap pintu masuk kamar mandi dalam bayangan kaca.

 

Aku menunggu sesuatu…. Menunggu…. Menunggumu?

 

Kerutan terbentuk di dahiku saat aku teringat aku belum melihatmu sejak meninggalkan van. Aku tak mengerti kenapa, tapi debaran jantungku berpacu begitu cepat. Seolah aku baru sadar aku telah melupakan sesuatu dan meninggalkan sesuatu yang sangat penting. Tapi, aku tak ingat apa.

 

Meletakkan sikat gigi di gelas di samping milikmu yang tertutup rapat, aku bergegas keluar kamar. Jongin, Sehun, dan Kyungsoo sedang menonton di ruang tengah. Sementara Suho-hyung sedang membaca di salah satu sofa tak jauh dari sana.

 

“Hei, apa kalian lihat Baekhyun?” tanyaku dengan suara beratku yang kutahu terdengar jelas dalam ruangan. Meski begitu, tak ada seorangpun yang menjawabku. Seolah tak ada yang mendengar pertanyaanku. Meski aku menangkap Kyungsoo bergerak gelisah di kursinya.

 

Langkah lebarku kubawa mendekati Suho-hyung yang aku yakin juga mendengar pertanyaanku. “Kau tahu Baekhyun di mana, Hyung? Aku tidak lihat dia di manapun,” ujarku.

 

Suho-hyung mendongak dan menatapku dengan seulas senyum yang sulit diartikan. “Aku tidak tahu, Chanyeol-ah,” sahutnya dengan suara perlahan. Seolah takut kata-katanya akan menyakitiku.

 

“Kenapa Baekhyun tidak ada…?” gumamku. Kurasa Suho-hyung mendengarnya hingga ia kembali menatapku. Aku mengabaikan tatapan prihatin yang berkelebat samar di lensa matanya seiring tangannya yang hangat menepuk bahuku pelan.

 

“Mungkin… sedang ada urusan…?” jawabnya tak yakin.

 

Aku mengangguk menyetujui opsi yang diberikannya. “Kalau begitu, pintunya jangan dikunci dulu, Hyung. Nanti Baekkie tidak bisa masuk,” ucapku begitu saja. Kalimat yang aku tak tahu kenapa membuat Suho-hyung terdiam. jemarinya yang kuat mengusap lenganku perlahan. Sepasang kristalnya menghindari tatapanku.

 

“Tapi dia tidak bilang apa-apa.” Aku kembali bergumam sambil berpikir. Mengingat-ingat apa kau sempat mengatakan akan ke suatu tempat dan aku melupakannya.

 

“Chanyeol-ah.” Suara Suho-hyung yang memanggil dengan halus memutus pemikiranku. Aku menatapnya dan menunggunya melanjutkan kalimatnya. Hyung yang terasa bagai appa itu memandangku dengan hati-hati. Alisnya berkerut samar saat menyuarakan pertanyaannya. “Apa kau… tidak melupakan sesuatu?”

 

Aku memiringkan kepalaku. Setengah bingung dengan pertanyaannya, setengah berusaha mengingat. Memang aku merasa aku telah melupakan sesuatu. Sesuatu hal yang sangat besar. Sesuatu hal yang berkaitan dengan rasa tak tenang di hatiku. Sesuatu hal yang berhubungan dengan…dirimu.

 

“Apa Baekkie minta aku menjemputnya di suatu tempat ya?” gumamku setengah menjawab pertanyaan Suho-hyung, setengah bertanya pada diri sendiri. Aku mengerutkan alisku melihat raut sedih kembali membayang di paras leader yang kuhormati ini.

 

.

 

.

 

.

 

4 Mei.

 

Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak tersenyum-senyum kecil melihat angka itu di kalender. Ya, sekarang tanggal 4 Mei. Tidak, tidak ada hal yang spesial di tanggal 4 Mei. Tapi 2 hari kemudian akan jadi hari spesial. Senyumku melebar mengingat rencana yang aku siapkan untukmu. Untuk memperingati penambahan umurmu menjadi –

 

“Perhatian! Ada yang ingin disampaikan Manajer-hyung!” seru Suho-hyung memutus lamunanku setelah menepukkan tangannya beberapa kali untuk menarik perhatian kami yang bermalas-malasan di ruang tengah.

 

Mengalihkan pandangan dari kalender, aku menatap Manajer-hyung yang duduk di salah satu sofa di dekat Sehun.

 

“Aku hanya ingin memberitahukan, tanggal 6 Mei kalian akan berangkat ke Jepang untuk mengikuti mini live concert di sana. Kalian akan tampil bersama member EXO-M. Mereka akan ke Korea besok. Agar lebih cepat dan praktis, anak-anak EXO-M akan menginap di sini. Kurasa kalian tak akan keberatan menerima saudara kalian dalam satu malam saja, kan?” ujar manajer-hyung sambil melirik kami semua.

 

Anggukan dan gumaman persetujuan terdengar samar di telingaku seiring suatu perasaan aneh mendadak mendera. Rasa sakit yang tak kumengerti apa, kenapa, dan darimana tiba-tiba saja menghantamku. Membuatku hanya terdiam dan tak merespon apapun.

 

“Rasanya seperti de ja vu….” Gumaman Kyungsoo membuatku menoleh padanya. Aku menatapnya tanpa emosi saat kudapati Suho-hyung menyikut bahunya perlahan. Seolah menegur atas apa yang baru saja diucapkannya. Aku tetap diam saat kulihat mata bulatnya memerah dan digenangi cairan bening yang hampir jatuh saat ia melirikku.

 

“Kenapa selalu di tanggal yang sama?” gerutu Sehun. Mengundang teguran dari Suho yang menyebut namanya dengan keras dan tatapan tajam.

 

“Tapi, Hyung, kita kan harus mengunjungi….” Sang Maknae tak menyelesaikan kalimatnya dan alih-alih melirikku sebelum menatap Suho-hyung dengan tatapan penuh arti. Suho-hyung terlihat mengangguk dan berpikir sejenak sebelum berbicara pada manajer-hyung.

 

“Hyung, tanggal 6 nanti kita berangkat ke bandara cukup siang, bukan? Kalau begitu, pagi harinya kami bisa ke…. sana?” tanyanya yang disahut dengan anggukan persetujuan dari manajer-hyung. Sang Leader tampak lega dan kini irisnya menatapku dengan tatapan penuh pertimbangan.

 

“Chanyeol-ah… kau…bisa ikut juga, kan?” tanyanya perlahan.

 

“Ke mana? Birthday party-nya Baekkie?” tanyaku memastikan. “Tentu saja aku ikut.” Aku menampilkan cengiran lebar yang menunjukkan gigi putih dan rapihku pada mereka. Akan tetapi, yang kudapat adalah keheninngan yang canggung dan kaku. Juga sekelebat kekecewaan dan cemas di kristal hyung di hadapanku.

 

Semua terdiam mengikuti ucapanku yang menggantung di udara. Tak ada seorangpun yang bersuara atau bahkan melakukan pergerakan berarti. Semua orang dalam ruangan terlihat berusaha menyibukkan diri dengan apapun di sekitarnya. Hingga Jongin mengerang depresi dan meninggalkan ruangan tanpa sepatah katapun.

 

Aku tak memperhatikan tatapan marah dan putus asa yang sempat dilemparnya padaku. Karena pikiranku sudah penuh dengan….rasa sakit yang mendera hatiku. Kecemburuan yang entah darimana mendadak merayap naik seiring bayangan member EXO-M satu per satu muncul di benakku.

 

Kyungsoo benar…. rasanya seperti de ja vu.

 

.

 

.

 

.

 

Dorm menjadi sangat ramai saat member EXO-M tiba. Aku sedang di kamar dan menyadari kedatangan mereka saat teriakan Luhan dan Sehun memenuhi tiap penjuru ruangan. Aku terkekeh pelan meski entah kenapa rasa nyeri di dadaku semakin jelas terasa saat menangkap suara khas Luhan.

 

Aku melirik sosokmu yang berbaring dengan i-pad kesayanganmu di tangan. Ragu, aku memanggilmu. “Nanti…yang menginap di sini Chen dengan Xiumin-hyung saja, bagaimana?” tanyaku yang kau sahuti dengan anggukan ringan. Kelegaan mendadak meraihku atas persetujuanmu itu. Entah kenapa, ada bagian dalam hatiku yang takut bahwa kau akan meminta untuk berbagi kamar dengan……

 

“Luhan, Lay, Tao, kalian di kamar ini.” Suara manajer-hyung kemudian membuatku menoleh ke arah pintu dan mendapati tiga orang yang disebutkan tadi berdiri di sana. Mengikuti di belakang Manajer-hyung yang bergegas menuju kamar berikutnya.

 

“Chanyeol-ah, kenapa kau tidak menyambut kedatangan kami, eh? Tidak senang kami datang?” sapa Luhan dengan senyum riangnya yang mampu melelehkan siapapun yang melihatnya. Well, kecuali aku, karena yang sanggup melelehkanku hanya dirimu….

 

Aku hanya membalasnya dengan cengiran yang kutarik paksa. Sebuah jawaban basa-basi berupa candaan sudah kurangkai dalam otakku, akan tetapi lidahku bergerak sendiri dan malah mengucapkan kata-kata lain. “Kalian bertiga menginap di kamar ini?”

 

“Benar, Gege. Malam ini saja Chanyeol-gege mau tidur denganku, kan?” sahut Tao dengan senyum tipisnya.

 

“Aku dan Luhan akan di kasur satunya kalau begitu…” ucap Lay sedikit ragu melirik kasur di samping milikku.

 

“Lalu Baekkie tidur di mana?” tanyaku dengan alis bertaut. “Kalian akan tidur bertiga?” 

 

Tak ada sahutan atas pertanyaanku itu. Dan meski kuabaikan, aku menangkap raut sedih di wajah Luhan-hyung yang kini tertunduk.

 

“Kenapa Luhan-hyung tidak tidur dengan Sehun saja? Bukannya kalian sudah lama tidak bersama? Kenapa harus dengan Baekhyun dan merebutnya dariku?” Tanpa bisa kukontrol, kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku. Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat mengatakannya. Aku hanya merasakan sakit yang menyesakkan di kerongkonganku.

 

Kristalku bertemu dengan bening Luhan-hyung yang menatapku terkejut dan tampak terluka. “A-aku tak pernah bermaksud –“ Ucapannya terputus dan aku melihat Lay-hyung mengusap bahunya dengan lembut.

 

Salah satu member dengan paras cantik bak boneka dan tokoh komik itu menunduk. Aku tak memasang raut apapun melihatnya menggigit bibirnya dengan resah dan seolah sedang menimbang sesuatu. Irisnya menatapku bimbang sebelum suaranya yang sedikit tercekat kembali terdengar. “Chanyeol-ah… Baekhyun –“

 

“Luhan-ge. Tidak usah,” ujar Lay-hyung memutus perkataan member yang lebih tua itu. Aku menangkap kelebatan genangan air di beningnya sebelum sosoknya didorong ke luar kamar oleh Lay-hyung yang tak berhenti mengusap bahunya.

 

Tak mempedulikan apa yang terjadi, aku kembali bersandar di bantalku dengan rasa sakit yang belum hilang. Lewat ekor mataku, aku mendapati Tao masih berdiri di dekat kasurmu. Ia terlihat canggung dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya sementara sesekali tangannya tergerak ke arah pipinya yang basah.

 

“Tao-ah, Baekhyun tidak di sini, kan?” tanyaku perlahan. Penguasa jurus wushu itu tampak begitu terkejut dengan pertanyaanku. Tapi, ia mengangguk dan tersenyum kecil.

 

Melirik sekitar ruangan juga arah kamar mandi dan pintu kamar, aku bangkit dari posisi berbaringku dan menghampiri lemari. Dari balik laci yang kuisi dengan topi, sarung tangan, dan syal, kukeluarkan sebuah kotak hitam dari sana dan kubawa pada Tao. Membuka tutupnya, kutarik perlahan dua untai kalung perak. Satu berbandul matahari dan yang satu menyerupai kobaran api.

 

“Aku berencana memberikan ini sebagai hadiah ulang tahunnya besok,” ujarku setengah berbisik, seolah takut kau menguping pembicaraan kami. Sambil mengatakan itu, jemari panjangku tergerak menyatukan dua bandul yang terpisah itu. Matahari kecil itu menempati ruang yang memang sengaja diperuntukkan baginya di tengah kobaran api, membuatnya menjadi bola api.

 

Tak bisa kusembunyikan binar senang di mataku membayangkan besok aku akan mengejutkanmu dengan hadiah ini dan… “Dengan dua lambang yang bersatu ini, aku… ingin memintanya jadi kekasihku….” Mengucapkan kalimat itu dengan pelan, bisa kurasakan wajahku memanas. Aku menampilkan cengiran konyolku pada Tao yang hanya terdiam. “Bagaimana menurutmu? Apakah ia akan suka?” tanyaku pada maknae EXO-M itu dengan seulas senyum canggung.

 

Entah kenapa mata tajam Tao yang dihiasi lingkaran hitam seperti panda terlihat memerah. “K-kurasa… ia akan suka…hyung,” sahutnya dengan suara bergetar.

 

“Hyung… bukankah itu…adalah kalung yang akan kau berikan pada…Baekhyun-hyung… tahun lalu…?” tanyanya perlahan. Kepala bersurai gelapnya sedikit tertunduk dan enggan membuat kontak mata denganku.

 

Tahun lalu?

 

“Baekhyun-ah, besok malam kau mau menemaniku?”

“Tentu. Kau mau mentraktirku, kan? Kekeke…”

 

“Ah…ya. Tadinya tahun lalu…,” ujarku mengiyakan setelah terdiam beberapa saat. “Tapi tidak sempat,” tambahku dalam gumaman.

 

“Kenapa…tidak sempat..hyung?” Lagi, Tao bertanya padaku perlahan. Sorot matanya seolah menunggu sesuatu, beharap akan sesuatu dariku.

 

Aku menatapnya tanpa emosi. “Karena kita harus ke puncak gunung hari itu untuk syuting CF,” sahutku.

 

“Lalu?”

 

“Lalu… hujan deras dan kita terpaksa menginap di puncak.”

 

“…lalu…?”

 

“Lalu? Lalu aku akan memberikan hadiah ini besok pada Baekkie,” ucapku dengan seulas senyum lebar. Aku terlalu senang dan tak sabar menunggu besok untuk merayakan ulang tahunmu sehingga cairan bening yang lolos dari kristal hitam Tao tak kuperhatikan.

 

“H-hyung…. Baekhyun-hyung… ti-tidak…di sini….,” bisiknya dengan suara tercekat. Aku menatapnya sejenak dalam diam dan raut datar. Aku mengangguk mengiyakan pernyataannya.

 

“Makanya, jangan beritahukan soal ini padanya, ya?” ujarku diiringi cengiran lebar kebangganku.

 

.

 

.

 

.

 

Cahaya matahari yang samar menerobos pori-pori tirai membangunkanku dari alam mimpi. Tersadar hari apa aku terbangun hari ini, seulas senyum terpahat di bibirku. Kulirik sosokmu yang masih tertidur dengan damai di sampingku. Dengan amat perlahan, aku bangun dari kasur, berusaha keras agar tidak membangunkanmu akibat pergerakanku. Menyambar acak jaket dari lemari, aku bergegas menuju pintu dorm. Tepat sebelum aku menariknya, pintu itu mengayun dan menampilkan Suho-hyung yang berpakaian jogging lengkap dengan handuk dan Kris-hyung di belakangnya.

 

“Kau mau ke mana Chanyeol-ah?” tanya Suho-hyung. Mungkin aneh baginya melihatku sudah bangun di saat member lain belum. Atau mungkin cengiranku ini terlalu mencurigakan?

 

“Aku akan beli strawberry shortcake kesukaan Baekkie di toko dekat taman, Hyung. Persiapan di sini kuserahkan pada Hyung. Hehe,” sahutku sambil secepat kilat menyelip di antara mereka dan meninggalkan dorm. Tak memberi kesempatan pada mereka untuk merespon sekalipun. Karenanya aku tak menyadari tatapan kaget dan cemas yang begitu kentara tergambar pada raut sang leader.

 

.

 

.

 

.

 

Memang kecerobohanku tidak memesan terlebih dahulu. Akibatnya aku harus menunggu cukup lama hingga kuenya matang. Setengah berlari – namun tetap hati-hati kubawa kue kejutan di tanganku – aku kembali ke dorm. Kerutan terbentuk di keningku saat aku melihat semua member telah siap pergi dan menggunakan pakaian dengan nuansa hitam.

 

“Kalian mau ke mana?” tanyaku sambil membongkar kardus yang membungkus kue strawberry kesukaan Baekhyun. Sudah kuduga tak akan ada yang menjawab pertanyaanku. Karenanya akupun tak begitu mempedulikan dan sibuk memasangkan lilin dan menyalakan apinya.

 

“Baekhyun masih tidur, kan? Ayo, kita kejutkan!” ujarku kemudian sambil membawa kue berhias lilin di tanganku. Tak menunggu respon dari anggota tim-ku yang entah kenapa seperti zombie atau patung, aku menuju kamar. Sedikit mengintip lewat celah pintu, kudapati kau masih tertidur.

 

Menarik napas dalam, kudorong pintu agar membuka lebih lebar dengan bahuku dan nyanyian ulang tahun kuserukan keras-keras dengan suara rendahku. Aku tahu aku mengejutkanmu. Kekehan tak kuasa kutahan saat kulihat kau terbangun dengan sedikit panik dan bingung menatapku. Setengah mengantuk, kau lalu terkekeh pelan dan tersenyum begitu indah.

 

“Selamat ulang tahun, Baekhyunie!!” seruku sambil menyodorkan kue padamu yang masih terduduk di tempat tidur. Aku berseru senang saat kau meniup lilin itu setelah memejamkan mata selama beberapa saat.

 

“Hei, ambilkan pisau,” ujarku sambil menoleh. Menatap anggota tim-ku yang hanya terdiam di dekat pintu. Tak ada yang bergerak menuruti permintaanku. Tak ada yang bersuara. Mereka hanya menatapku dengan tatapan iba.

 

“Aaaaarrggghhh!!!! Cukup!!!! Hyung, kau ikut aku!” Geraman marah Jongin kemudian memecah keheningan. Member yang disebut dancing machine itu menarik pergelangan tanganku dan berusaha menarikku untuk bangun.

 

“Ke mana? Lepaskan aku, Jongin-ah. Baekkie belum potong kuenya,” tukasku sambil berusaha melepaskan genggaman Jongin dari tanganku.

 

“Baekhyun-hyung tidak di situ! Biar kubawa kau ke tempatnya!” bentaknya dengan desisan marah. “Dan aku tak mau kau mencegahku lagi, hyung!” Yang terakhir itu diserukannya pada Suho-hyung yang kulihat berusaha mendekati Jongin.

 

“Apa maksudmu Baekhyunie –“ Perkataanku tak terselesaikan karena tiba-tiba saja kurasakan sepasang tangan lain yang lebih kuat menarik sisi lenganku yang lain dan menyeretku keluar kamar.

 

“Hyung! Lepaskan aku!!” seruku pada Kris-hyung yang tentu saja memiliki tenaga lebih dariku. Akan tetapi Sang Duizhang tak menggubrisku dan ia bersama Jongin menyeretku menuruni dorm, ke jalanan, dan terus menyeretku entah ke mana. Usaha pemberontakan yang kuberikan tak berarti dan aku hanya bisa membiarkan diriku diseret dengan sangat memalukan hingga Kris-hyung melepaskan tanganku dan mendorongku hingga terjatuh di atas tanah segar.

 

“Aish! Kalian ini apa-apaan? Kuenya jadi jatuh padahal Baek belum memakannya –“ Gerutuanku terpotong oleh seruan Kris-hyung yang bernada dingin dan tajam.

 

“Park Chanyeol! Baca ini!!” perintahnya dari hadapanku. Aku mendongakkan kepalaku untuk menatapnya yang meletakkan jemarinya di atas batu hitam dengan ukiran di depannya. Bisa kurasakan jantungku berhenti berdetak saat lensaku membaca nama “Byun Baekhyun” tertera indah pada batuan granit di atas gundukan tanah itu.

 

Aku mendengar diriku tertawa setelah membaca kata itu. “Leluconmu tidak lucu, Hyung!” sungutku sambil berusaha bangkit dan kembali ke dorm. Kulirik Jongin yang memandangku dengan sorot mata putus asa. “Kau harus ganti rugi biaya kuenya. Aku jadi harus beli lagi untuk –“

 

Dhuak!!

 

Ucapanku terputus saat kurasakan sebuah tumbukan yang menyakitkan menghantam rahangku. Menyerang kesadaranku dan membuat tubuh jangkungku tersungkur di tanah. Aku mengerang saat kurasakan kepalaku pening dan denyutan ngilu menghantam gusi dan gigiku. Tak sempat kuserukan kemarahanku pada Kris-hyung, jemari kuatnya menarik bajuku dan mendorong wajahku kembali ke hadapan nisan gelap berbentuk indah itu.

 

“Kau tidak menghargai kematiannya, Park Chanyeol!” desisnya dalam kemarahan besar yang berusaha ia redam. “Berhentilah berpura-pura ia masih hidup!!”

 

Aku mengeratkan rahang dan menggelengkan kepalaku kuat-kuat. Berusaha menyingkirkan kata-kata Kris-hyung yang merasuki indera pendengarku.

 

“Cukup satu tahun kau membuatnya menderita dengan tingkah gilamu yang tak mau menerima kenyataan. Lepaskan ia, Chanyeol-ah… Relakan ia….” bisiknya kemudian.

 

Bisa kurasakan mataku memanas tanpa sebab. Rasa sakit di dadaku semakin kentara. Seolah lubang yang kuyakin ada di sana semakin lebar. Aku kembali menggeleng kuat-kuat. Tak mau kupercayai rangkaian angka yang tercantum di bawah nama indahmu di atas nisan terkutuk itu. 6 Mei tahun lalu…. Tidak. Tidak ada apa-apa pada ulang tahunmu setahun yang lalu. Bukankah kita tetap bersama? Memiliki jadwal bersama dan…

 

 

“Jalanannya terlalu berbahaya, apalagi di tengah hujan seperti ini. Kita bermalam dulu di sini.”

 

Kau tertawa begitu lebar bersamanya. Menempel tak terpisahkan sejak semalam. Begitu dekat dan tak membiarkanku memiliki waktu bersamamu di hari ulang tahunmu ini.

 

“Chanyeol-ah, kenapa kau menghindariku? Apa kau marah padaku?”

 

Tak kugubris pertanyaanmu. Kutepis tangan indahmu yang berusaha menyentuh lenganku.

 

“Ayo masuk tenda, Yeollie… Kau bisa sakit….”

 

“Tak perlu mempedulikanku! Kau urus saja Luhan-hyung tersayangmu itu!”

 

Bisa kulihat raut terluka tergambar jelas di paras manismu karena perkataanku. Tapi aku tak mempedulikanmu. Aku meninggalkanmu dari pinggir jurang itu dan menjauh. Menaiki jalanan kecil untuk menghindarimu.

 

 

“Baekhyun-ah….,” bisikku sambil tanpa sadar mengusap ukiran namamu di atas batu keras itu. Kekosongan yang selama ini bercokol di hatiku terasa begitu menyakitkan. Membesar dan meluas. Ada yang hilang. Bukan, itu bukan kau, bukan? Bukan kau yang menghilang….

 

Tubuh jangkungku bangkit dari atas tanah

 

Kau sedang menungguku, bukan? Kau ada di dorm dan sedang menungguku kembali, bukan begitu, Baekkie?

 

“Baek ada di dorm. Ada dorm. Aku harus segera melihatnya,” gumamku perlahan sambil berjalan terhuyung meninggalkan pemakaman. Rasa rindu yang begitu besar mencabik hatiku. Ingin bertemu…. Aku ingin menemuimu sekarang juga. Karena itu aku harus segera menuju dorm… Kau ada di sana… kan?

 

Dengan bergegas kau melangkah. Tak memperhatikan jalanmu. Tak mempedulikan pepohonan disekitarmu. Kau hanya menatap ke depan. Berusaha mengejar…

 

Siapa yang kau kejar?

 

“Chanyeol-ah! Chanyeol-ah!”

 

Bisa kudengar mereka berusaha memanggilku. Entah siapa. Aku tak peduli. Aku hanya terus membawa langkahku menyusuri aspal.

 

“Chanyeol-ah… Chanyeol-ah….”

 

Siapa yang memanggil?

 

Mungkin Chen? Atau Xiumin-hyung?  Lay-hyung? Tao? Kris-hyung? Jongin? Suho-hyung? Kyungsoo? Sehun? Atau….

 

“Chanyeol-ah. Kau mau ke mana? Chanyeol-ah, tunggu. Kenapa kau marah? Chanyeol-ah….”

 

Aku tidak marah padamu. Bukankah kau yang membenciku? Karena aku tak sempat –

 

“Kyaaaa!!!”

 

Sebuah jeritan tertahan mencapai gendang telingaku setelah bahuku kurasakan menumbuk sesuatu hingga ia terhindar dari arah jalanku. Dalam gerakan refleks, kuulurkan tanganku… entah apa yang berusaha ingin kugapai….

 

Meski begitu, bunyi hujan memenuhi indera pendengarku bersama teriakan panik yang menggema di tengah batang pohon tinggi dan tebing yang terjal.

 

“BAEKHYUN!!!”

 

Semua orang berteriak panik sambil menunjuk arah di belakang punggungku. Dengan sentakan mengerikan, kutolehkan kepalaku dan sosokmu tak lagi di belakangku.

 

“Yeollie…” Rintihan pelanmu membuatku tiarap dalam hitungan detik. Jemari indahmu mengait lemah pada akar pohon yang berduri dan melengkung melebihi kemampuannya. Kugapaikan tanganku padamu, tapi jemari indahmu tak kuasa meraihnya. Kudorong tubuhku untuk mencapaimu, tapi tanganku tak menggapai apapun. Hanya udara kosong seiring sosok mempesonamu meluncur turun ke dalam kegelapan jurang. Kau bisikkan sesuatu di tengah hujan untukku yang tak bisa mendengarmu.

 

Apa? Apa yang kau ucapkan?

 

“Terimakasih. Untung saja kau memegangku. Kalau tidak aku bisa jatuh dari tangga ini.”

 

Sebuah suara bernada tinggi menyeruak kesadaranku di tengah hujan dalam ingatanku. Jemari panjangku merasakan sentuhan pada kulit pergelangan tangan yang berhasil kugenggam. Kristal kembarku kembali fokus menampilkan seseorang tengah berbicara padaku.

 

Tidak. Bukan itu yang ingin kau katakan, bukan? Bukankah kau marah padaku? Bukankah kau yang membenciku? Bukankah kau yang mendendam padaku karena…..karena aku tak sempat menolongmu…?

 

Tanpa bisa kuhentikan air mata mengalir deras dari kedua kristal kembarku. Hatiku sakit. Lubang yang menganga di sana begitu lebar seolah akan memakanku. Aku terjatuh di atas aspal dan tak kupedulikan sekitarku. Sekelebat kulihat sosok di hadapanku menjadi khawatir dan ikut berlutut di dekatku. Tapi aku tak peduli. Hanya kau yang memenuhi seluruh inderaku. Rasa sesak yang begitu menyiksa membuatku sulit bernapas.

 

“Baekhyun-ah…. mianhe… Mianhe….,” bisikku dalam suara bergetar yang tercekat. Rasa bersalah yang begitu besar menghantuiku. Mencengkeramku begitu keras dan tak mau melepasku.

 

“Yeollie…. saranghae….”

 

.

 

.

 

.

 

.

 

A/N: *peluk Baekhyun dan Chanyeol* Mianheeee……

 

Yak, gimana readers-nim? Mengertikah? Kekeke maafkan author gaje yang emang otaknya aneh ini hahaha… Sebetulnya inginnya author sih menyampaikan ‘kegilaan’ dan perasaan bersalah Chanyeol karena ga sempet nolong Baekkie dan waktu Baek pergi itu mereka lagi marahan T_____T Itu sih inti ceritanya. Mian kalo malah ga dapet dan jadinya memusingkan u.u

 

FF ini author bikin di tengah UAS (ide dan penyusunannya), baru pengetikannya tepat setelah UAS. Trus waktu tanggal pengumpulan, author harus pergi ke tempat terpencil untuk acara kampus jadi bagian akhir ff ini bikinnya super duper keburu-buru. Bahkan konyolnya itu baris-baris menjelang akhir itu author bikin sambil panik karena belum beres-beres perbekalan buat nginep sambil dimarahin ibu karena udah terlambat *super plak* (malah curhat lagi)

Yah begitulah. Jadi maafkan ya readers-nim bila di akhirnya anehnya ga ketulungan… u.u  Author stuck waktu itu, terus sekarang udah ga kepingin ngedit #dhuar Biarin aja deh kayak gitu, kayak gimana aslinya kekeke *author payah*

 

Sip deh, makasih yang udah mau baca… apalagi yang udah mau baca curhatan super ga penting author aneh ini xD *pelukin readers*

Komen sangat dinanti~~

 

Regards,

 

Allotropy Equilibria

0

Menarik banget nih!!! Harus ikutaan!! xDD

ADOREXONLY

giveaway copy

Hello all EXO Fans ^^ Firstly, we want to say thank you for your loyalty! Thank you for following us till now. We are not perfect, but all what we can do is only helping each others.

Now we are going to announce SOMETHIING BIG! Ya from the title, you will know that we are going TO HAVE BIG GIVEAWAY and WKpopersINA will support us!

But not just it, ALL YOUR HARDWORK will BE APPRECIATE BY US. We will going to MAKE A BOOK and CD of your HARDWORK and all of it WILL BE SEND AS  PRESENT FOR THEIR #1YearWithEXO ^^ Are you EXCITED?

**HERE IS THE DETAILS OF BIG GIVEAWAY :

Lihat pos aslinya 1.237 kata lagi

0

Berbagi Cerita Malam

Alhamdulillah! Hari ini rasanya diingatkan lagi bahwa segala yang direncanakan Allah adalah yang terbaik, bahwa Dia Maha Tahu apa yang kita butuhkan dan benar-benar baik untuk kita. Bahwa segala yang terjadi dan telah digariskanNya tak ada yang sia2. Bahwa segala kehebohan dan kerumetan siang ini gara2 pengumpulan T-PAM dan LabLing yang mepet itu ada tujuannya. Bahwa ke-hectic-an itu adalah langkah untuk mendapatkan ilmu yang luar biasa dari Forum Group Discussion tentang Sistem Pemanfaatan Air Hujan malam ini. Coba kalo laporan labling ga dikumpulin hari ini? Aku ga akan mau berlama2 di kampus atau nongkrong di himpunan karena bakal ngejar nyelesaiin Labling. Tapi, Allah tahu apa yang terbaik. Padahal tadinya ga ada niatan datang FGD, tapi hanya karena jawaban refleks yang keluar secara spontan tanpa terpikir untuk menjawab pertanyaan Kak Cory, jadilah suatu janji tak tertulis yang membuatku akhirnya datang FGD. Dan sungguh aku benar-benar bersyukur, Alhamdulillah aku datang acara FGD ini. Benar-benar membuka pikiran dan menikmati sekali yang namanya diskusi dan mencari ide baru dengan pola pikir yang menarik yang dikenalkan oleh teman2 dari desain produk.

 
Saat sedang menuliskan ide2 yang ada, aku melirik jam dinding dan baru sadar ternyata sudah cukup larut, tapi anehnya aku tidak merasa mengantuk. Padahal sedang membahas sesuatu yang berat, rencana ke depan. Tapi justru aku merasa begitu bersemangat. Dan justru pada saat itu aku merasakan sebenar-benarnya perasaan menjadi seorang mahasiswa. Seorang akademisi, yang memanfaatkan kemampuan otak dan pemahamannya untuk menciptakan inovasi baru dengan tekonologi yang sudah ada agar pemanfaatannnya bisa lebih luas. Subhanallah, sungguh itu perasaan yang luar biasa, yang tak pernah kurasakan selama mengerjakan tugas atau laporan atau bahkan pada saat mendapat nilai yang bagus sekalipun. Karena, lagi-lagi aku merasa disadarkan: inilah mahasiswa yang sebenarnya. Hehe
Karena sebetulnya bukan nilailah yang paling penting. Bukan pintar lah yang dicari, tapi cerdas, inovatif, kreatif lah yang akan sangat berguna. Dan rasanya menyenangkan brainstorming menrencanakan peluang apa yang bisa kita lakukan dengan mendengar dari berbagai sudut pandang berbagai keilmuan. Jadi merasa memang sangat penting berkolaborasi itu. Karena pikiran kita jadi lebih terbuka pada celah-celah yang mungkin luput dari pengamatan otak seorang environmental engineer.
Keren banget deh pokoknya malam ini. Jjang!! Daebak!! Sugoi!! Subarashi!! Subhanallah…..
Sungguh aku bersyukur Allah masih menggerakkan kaki dan tubuhku untuk menghadiri acara2 yang sangat sarat manfaat seperti ini. Karena ini adalah hal yang tidak bisa didapatkan oleh semua orang, benar? Alhamdulillah~ 🙂
19 November 2012
0

Makna dalam setiap kejadian

Catatan perjalanan singkat hari Sabtu, 17 November 2012

Sabtu ini aku cuma keluar rumah tadi siang jam 1 aja sebetulnya. Dengan sangat malas tapi terpaksa menyeret langkah demi yang namanya tanggung jawab. Tapi, Subhanallah, betapa banyak yang kudapat dari satu agenda ini.

 

Di perjalanan menuju Lembang, naik angkot ijo-item sambil baca Novel Agatha Christie yang “saksi bisu”, aku jadi ga merhatiin sekitar. Suatu tindakan yang amat tidak peka dan membawaku pada rasa bersalah dan penyesalan mendalam. Di sekitar tamansari, ada seorang pria naik. Waktu itu tak terlalu kuperhatikan karena penjelasan Poirot dalam buku yang kupegang begitu menarik sehingga aku hanya melirik sekilas dan mendapati wajah asing dengan koper besar diseret masuk. Hanya pengamatan sekilas dan otakku hanya menyimpulkan ia kaukasian. Tak bermaksud rasist, hanya saja aku sadar diri English-ku payah, itu sebabnya aku tidak sok-sokan bertanya padanya yang terlihat bingung menghitung uang di tangannya. Tapi, saat pria itu turun tak berapa lama sejak ia naik dan teman-temanku sedikit ribut karena pria itu membayar dengan uang 10ribu tanpa mengambil kembaliannya, barulah aku memusatkan lagi perhatianku padanya dan menangkap raut Asia di sana. Tak yakin apakah korean atau japanese atau chinese. Sekali lagi aku tak bermaksud rasist. Hanya saja, melihatnya berdiri di pinggir jalan di tengah kemacetan dengan raut bingung itu menimbulkan rasa bersalah di hatiku. Karena, seandainya ia nihonjin, seharusnya barangkali aku bisa sedikit membantunya. Meski aku tidak terlalu hapal daerah Bandung, setidaknya mungkin aku bisa jadi penerjemah dadakannya. Setidaknya mungkin aku bisa memberitahunya berapa uang yang harus diberikannya pada supir angkot. Setelah mobil melaju dan sosoknya yang terlihat jelas tersesat itu, aku termangu dengan rasa bersalah yang menggerogoti. Sebutlah itu simpati. Atau empati? Sebagai manusia, tidakkah seharusnya kita saling menolong? Sungguh aku merutuki diri yang begitu tak peduli dan malah mengansos ria dengan membaca novel T_T Bayangkan aku yang ada dalam posisinya di suatu negeri asing suatu hari nanti. Tak tahu harus ke mana. Tak tahu harus bertanya pada siapa. Tak bisa berkomunikasi karena kendala bahasa. Atau bayangkan BaekHyun atau ChanYeol yang ada di posisi pria itu. Kasihan sekali rasanya. Bahkan sampai sekarang raut bingung dan cemasnya tak bisa kuhapus dari ingatanku.

Seniorku hanya menasehatiku “Doain aja semoga ada yang bantuin dia.” Maka aku akan mendoakannya, meski aku tidak tahu apa agamanya atau apakah aku diizinkan mendoakannya. Yaa Rabb, hamba tak kuasa membantunya karena segala keterbatasan yang hamba miliki, tapi hamba yakin Engkau bisa. Semoga ada orang baik hati yang mau menolong pria itu. Semoga saat ini ia sudah ada di tempat tujuannya dengan selamat dan tidak kekurangan apapun dan tetap tak mendapat kesan buruk mengenai negeri ini. Amin.

Dalam perjalanan tadi, aku merenung dan menyadari, betapa hanya sedikit sekali orang yang benar-benar baik dan tulus di zaman sekarang ini. Dalam kondisi serupa, akankah ada orang yang rela turun dari angkot dan menghampiri pria itu dan menuntunnya menuju tempat tujuannya meski ia sendiri sedang menuju tempat lain? Karena pemikiran itu sempat mencapai benakku. Tapi hanya sebatas dalam pemikiran sementara tubuhku tetap bergeming dalam mobil dengan rasa bersalah yang tak kunjung hilang…..

 

Sampai di Lembang, tepatnya di Desa Cikahuripan, baru pertama kali ke sana jujur aja. Dan waktu naik ojek menuju posyandu RW4, Subhanallah!! Pemandangan kebun jagung yang membentang luas dengan latar awan putih itu sungguh indah. Angin semilir yang dingin rasanya begitu menenangkan karena membawa oksigen yang lebih kaya dibandingkan dengan udara ambien yang biasa ada di kota. Rasanya seolah aku bisa merasakan kadar oksigen lebih banyak dan mungkin tak ada kandungan CO atau dioksin dalam udara itu. Begitu segar dan membawa rasa damai. Sudah lama sekali aku tidak melihat pemandangan hijau yang begitu mempeseona. Dan aku baru tahu, betapa kebun jagung bisa seindah itu. Rasanya seperti lukisan. Seperti dalam dongeng. Seperti dalam cerita. Ternyata kalau penat dengan kehidupan kota memang sekali-sekali datang ke desa ide yang bagus juga. Sayang ga sempet teriak-teriak melepas stres di sana kekekeke.

 

Di posyandu, rasanya terharu liat semangat ibu-ibu yang datang begitu banyak untuk menyambut program ini. Mendengar wejangan dari bu Kades, aku merasa tertohok dan ditampar. Inilah tujuan mendasar mahasiswa kuliah, mendapat ilmu dan lulus sebagai sarjana. Inilah alasan mendasar mahasiswa bersusah payah menjadi insan akademik: untuk menerapkan ilmu yang didapat ke dalam sistem masyarakat, memberi manfaat sebesar-besarnya. Aku merasa disadarkan: ini loh, Cha tujuan yang harus kamu capai setelah lulus nanti, atau bahkan harus kamu lakuin sekarang ini sebelum lulus: aplikasiin ilmu yang ada di TL buat masyarakat, sebarkan pengetahuan, jadi manusia yang bermanfaat bagi banyak orang! Dengan niat berlandaskan mencari ridho Allah tentu saja.

Subhanallah, dengan berangkat ke lembang tadi, aku merasa dapat pencerahan. Tujuanku mempelajari semua materi di TL adalah untuk nantinya kuberitahukan dan kuaplikasikan pada masyarakat yang membutuhkanku. Tridharma perguruan tinggi. Hemm….

 

Saat turun dan melihat pembangunan TPS yang akan dijadikan Rumah Kreatif dan Bank Lingkungan, aku dihampiri anak-anak yang menyapaku dengan riang. Hanya dalam hitungan detik, mereka telah lengket padaku dan berceloteh penuh tawa. Sebetulnya aku bukan tipe yang begitu dekat dengan anak-anak. Katakanlah, aku sedikit canggung dengan mereka, tak tahu harus bagaimana memperlakukan mereka. Tapi, mendapat senyuman dan seruan seriang itu, siapalah yang bisa menolak?

Dan berkat anak2 itu juga, aku jadi bisa Solat Ashar tak terlambat begitu jauh. Karena sudah menunjukkan pukul 4, sementara letak masjid begitu jauh. Pikiran dewasa dan individualisku mengeluarkan opsi untuk segera pulang saja dan mampir solat di masjid yang akan dilewati nanti. Akan tetapi, opsi itu pupus saat anak2 itu dengan riang menggiringku menuju salah satu rumah. Rumah Ibu Dewi kalau aku tidak salah dengar. Menggiringku ke sana untuk menumpang berwudhu. Dan Subhanallah, betapa sungguh baik hati pemilik rumah itu. Mempersilakan kami untuk meminjam kamar mandinya, menggunakan air di wilayahnya, bahkan meminjamkan kamarnya untuk kami melaksanakan Solat. Seandainya bukan karena anak2 itu, opsi ini tak pernah terlintas sekalipun di benakku. Bahkan saat mereka menyeretku pun, sempat terlintas di sel kelabu otakkua “tidakkah itu tidak sopan?” “Akankah ia mengizinkan orang asing sepertiku memasuki rumahnya begitu saja?” Tapi, Allahu Akbar, sungguh ternyata masih ada orang2 baik dan tulus seperti mereka. Yaa Rabb, berkahilah rumahnya, berkalhilah usianya, berkahilah rizkinya, permudahlah urusannya, jauhkanlah keluarganya dari mara bahaya. Amin.

 

Perjalanan singkat yang begitu penuh makna. Alhamdulillah, Allah masih memberiku hati yang bisa berpikir, yang bisa melihat hikmah dan pembelajaran dari berbagai kejadian. Tidakkah itu suatu kenikmatan yang tak bisa dimiliki semua orang? Alhamdulillah Allah masih mengizinkanku memilikinya.

Meski perjalanan pulang yang begitu macet begitu melelahkan, tapi, segala sesuatu pasti ada tujuannya. Tak ada yang sia-sia 🙂

(di-post-kan di notes fb)

0

Daftar Hari Perayaan Lingkungan Hidup Sedunia (Tingkat Internasional)

Re-post dari postingan temen di grup FB 🙂 (credit: Masagus Halim)

Daftar Hari Perayaan Lingkungan Hidup Sedunia (Tingkat Internasional)
• Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day) : 2 Februari
• Hari Air Sedunia (UN World Day for Water) : 22 Maret
• Hari Meteorologi Sedunia : 23 Maret
• Earth Hour : Sabtu terakhir bulan Maret (Pukul 8:30 PM waktu setempat)

• Hari Bumi (Earth Day) : 22 April
• Hari Penanaman Pohon (Arbor Day) : Jumat terakhir di bulan April
• Hari Burung Migratori Internasional (International Migratory Bird Day) : 3 Mei
• Hari Biodiversitas Dunia (International Day for Biological Diversity atau World Biodiversity Day) : 22 Mei
• Hari Bersepeda Ke Kantor (Bike-to-Work Day) : Jumat Ketiga di bulan Mei
• Hari Anti Tembakau Internasional : 31 Mei
• Hari Lingkungan Hidup Sedunia PBB (UN World Environment Day) : 5 Juni
• Hari Melawan Desertifikasi dan Kekeringan Dunia PBB (UN World Day to Combat Desertification and Drought) : 17 Juni
• Hari Populasi Dunia PBB (UN World Population Day) : 11 Juli
• Hari Peringatan Sedunia Untuk Mempertahankan Lapisan Ozon (International Day for the Preservation of the Ozone Layer) : 16 September
• Hari Emisi Nol (Zero Emissions Day) : 20 September
• Hari Bebas Mobil (Car Free Day) : 22 September
• Hari Habitat Dunia PBB (UN World Habitat Day) : Senin pertama di bulan Oktober
• Hari Peringatan Pengurangan Bencana Alam Dunia (International Day for Natural Disaster Reduction) : Rabu Kedua di bulan Oktober
• Hari Peringatan Sedunia untuk Mencegah Eksploitasi Lingkungan dalam Perang dan Konflik Bersenjata (International Day for Preventing the Exploitation of the Environment in War and Armed Conflict) : 6 November
• Hari Pohon : 21 November
• Hari Gunung Sedunia (International Mountain Day) : 11 Desember

Daftar Hari Perayaan Lingkungan Hidup Indonesia (Tingkat Nasional)
• Hari Sejuta Pohon : 10 Januari
• Hari Peringatan Laut dan Samudera Nasional : 15 Januari
• World Silent Day : 21 Maret Pukul 10.00 14.00 (Masih merupakan gerakan moral dari berbagai LSM Lingkungan Hidup)
• Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional : 5 November